09 September 2009

BLOG FOTO : Sebuah Pengantar

Dari dulu saya memendam keinginan untuk mempunyai satu blog khusus tentang foto-foto. Bukan, bukan foto tentang saya. Tapi foto hasil jepretan saya atau setidaknya foto yang berkaitan dengan tema yang saya inginkan. Semenjak sekolah menengah dulu saya memang sudah mulai menaruh minat yang lumayan (besar) berkaitan media gambar. Foto maupun lukisan. Tiap ada pameran lukisan atau foto di perpustakaan, saya kadang sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi pameran tersebut.

Begitu pula foto-foto di Foto Pekan Ini koran Kompas atau Dibalik Lensa Jawa Pos selalu menjadi perhatian saya tiap Minggu. Dari foto-foto tersebut saya belajar tentang satu hal. Bagaimana caranya menghadirkan potret hidup nyata dalam bingkai estetik. Menyuguhkan gambar sisi hidup yang menggugah: berkeringat, berairmata, bersahaja, berdesak, bersenyum dan berpengharapan.

Tapi tak hanya itu, foto-foto ternyata juga bisa bercerita tentang sisi ringan hidup manusia. foto-foto yang mengabadikan peristiwa atau obyek lucu, lugu bahkan konyol. Seperti blog Serasa ini (yang udah dibukukan), yang selalu bikin saya tersenyum lebar bahkan tak jarang membuat tertawa lepas bila melihat foto-foto tersebut.

Dan seperti biasa, bila melihat hal-hal istimewa saya ikut-ikutan latah. Saya ingin ikut-ikutan. Tapi jangankan blog -yang biasanya dipakai orang untuk memerkan hasil karyanya- lha.. hasil karyanya alias foto hasil jepretan saya sendiri, yang ingin saya pajang, saya tak punya. Setelah saya renung-renungkan lama-lama, ada dua alasan kenapa sampai sekarang saya tak punya banyak karya foto.

Pertama yaitu masalah teknis. Dulu, saya tak punya piranti untuk “jeprat-jepret”. Ada sebenarnya, tapi kamera analog. Analog biasa lagi. Dan saya pikir bodoh juga saya jika tetap memaksakan kehendak untuk memajang karya foto hasil dari kamera analog tersebut. Pake kamera analog biasa ribet. Harus beli film lah, gak bisa dikontrol gambar yang sudah dan akan diambil (gak bisa di zoom, didelete, dan dilain-lain, sebagaimana kemampuan yang biasa dimiliki kamera digital) harus dicuci lah... ribet mahal pula.
wah..dihitung-hitung bisa besar pasak dari pada tiang! Dan siapapun yang melanggar adigium tersebut adalah perbuatan bodoh, terutama bagi mahasiswa bokek macam saya.

Masalah yang kedua, yaitu masalah psikis. Ini masalah yang paling serius yang menjadi hambatan utama seorang fotographer: Saya lebih senang berada di depan kamera sambil senyam-senyum menjadi obyek kamera, dari pada saya harus di belakang kamera sambil memicingkan mata sebagai tukang foto. Entah kenapa, saya sering merasa gak rela saja jika harus berada di belakang kamera, “tersembunyi” dari lensa -sementara yang di depan lensa sana- orang lain cengar-cengir memamerkan diri dan merayakan momen “sedang berada di mana” dan “sama siapa” mereka. Heh... menyebalkan bukan??
Di titik ini saya sempat berpikir juga bahwa jadi fotographer terutama spesialis pas foto adalah pekerjaan yang menyakitkan hati. Bener gak?? (kecuali bila obyek yang di foto adalah Dian Sastro tentunya... kayak di film Ungu Violet itu J )

Masalah teknis sebenarnya masalah ringan. Mencari solusinyapun tidak terlalu sulit dibanding masalah kedua. Bisa pinjam kamera temen atau masuk LPM (lembaga Pers Mahasiswa) atau klub fotographi. Selesai.
Alasan yang kedua ini yang saya belum tahu solusinya dan tampaknya mempunyai andil paling besar alasan kenapa sampai sekarang saya tak pernah masuk klub foto dan tak punya banyak karya foto mskipun sudah memegang kamera. J

Nah.. memang sekarang saya sudah memegang kamera digital dengan resolusi yang lumayan.. tapi ya itu tadi..gara-gara belum lancar mengatasi masalah kedua hasil jepretan saya belum terlalu banyak...

***
Sekarang saatnya memulai mimpi yang dulu sempat digadang-gadang semenjak masuk kuliah. Jadi fotographer kecil-kecilan. Nah untuk menyimpan (dan sekaligus memajang dan “memamerkan”) foto tesebut sengaja saya buat blog baru khusus foto-foto. Nama blognya sendiri belum nemu yang keren...
Entar-entar lah saya pikirkan...mungkin ada usulan??

seperti kata orang... berpanjang-panjang dan berbusa-busa memang tak menarik..
Nah!! Sekarang sudilah para pengunjung untuk mau mengintip blog baru saya ini...

07 September 2009

nokturno

jalanan sudah dingin
Buku sudah basi
Kopi sudah habis
Lampu telah mati
Tapi bayangnya belum beranjak pergi dari hati

Sekarang terbaring aku,
tersalib di ranjang sepi
berteman peri dalam mimpi
dan sebait puisi..
yang tak pernah jadi

05 September 2009

met ultah mbakyu

Hari ini ia ulang tahun. Sudah lama saya tak bertemu dengannya. dan mungkin tak akan pernah bertemu lagi sampai entah kapan dan entah di mana.
well, it was a great joy to know her. How great? She won't understand.
And for me? Saya memilih untuk bersyukur untuk saat-saat ini. Bersyukur karena sudah pernah diijinkan untuk bertemu dan berkenalan dengan seseorang yang ... cantik.

Happy birthday mbakyu.
mimpi. cita-cita.
semoga selalu bersamamu.

02 September 2009

Menyikap Friksi RI-Malaysia

Kembali, Indonesia dan Malaysia bersitegang. Pemicunya pun tak jauh berbeda degan yang terdahulu. Kali ini gara-gara dimasukkannya tari Pendet dalam sebuah promosi wisata Malaysia yang ditayangkan luas ke manca negara. Dan kembali lagi, sebagian dari kita, cepat bereaksi, merasa tersinggung, protes, turun ke jalan, dan dengan segera memasang badan menantang. Bahkan menteri kebudayaan dan Pariwisata tak lepas dari masalah klaim-mengklaim ini, dan konon sudah melayangkan nota protes kepada negara Jiran itu.

Saya masih ingat ketika beberapa kala yang lalu, ketika Malaysia mengklaim --meskipun saya tak pernah menyaksikan atau mendengar langsung klaim tersebut keluar dari pihak Malaysia- produk budaya kita seperti lagu rasa sayange, batik, reog, dan angklung, dengan mudah sebagian dari kita marah, dan lalu turun ke jalan melakukan aksi protes. group anti Malaysia pun dengan cepat segera beredar di situs jejaring sosial. dalam beberapa tayangan berita bahkan beberapa orang berlatih bela diri untuk mempersiapkan melawan Malaysia jika dibutuhkan.

Saya sebenarnya tak mengerti, dari mana datangnya semangat memprotes tersebut. Dari semangat nasionalismekah?

Seperti biasa, bila ada friksi atau isu yang menjadi polemik, saya selalu menyempatkan untuk jalan-jalan membaca komentar-komentar online di surat kabar, forum kas-kus, atau forum-forum lainnya. (Kenapa forum Kas-Kus? Karena menurut saya apa yang dikatakan orang kebanyakan itu menjadi penting, meskipun tidak selalu berarti menjadi yang paling benar). Dan selalu saja yang terkecap oleh lidah saya ketika membaca komentar-komentar tersebut adalah nada-nada tajam: mengancam, mencibir, menantang. Tak sedikit pula dari komentar-komentar tersebut yang menyuarakan kembali ide Soekarno dahulu : Ganyang Malaysia! (bahkan teman saya mengundang saya untuk ikut dalam grup ganyang Malasyia)

Meski mungkin yang tengah diperjuangkan dalam forum-forum tersebut adalah hak untuk dihormati sebagai manusia atau komunitas, atau bangsa, yang berasal dari semangat nasionalisme, namun selalu ada yang timpang dengan cara memperjuangkannya. Yang justru terbaca dari komentar-komentar tersebut adalah penegasan sikap nasionalisme kita yang lebih mirip sebagai gengsi jawara, daripada nasionalisme yang berakar pada nilai universal macam hak asasi ataupun harga diri manusia. Dahulu, imperialismelah yang melahirkan nasionalisme. Dan oleh karena itu, sangat tidak mungkin nasionalisme, yang menentang imperialisme, melahirkan imperialisme.

Tentang Budaya.
kembali kepada pertanyaan awal. dari mana datangnya semangat memprotes tersebut??
Bila klaim itu berkenaan dengan masalah teritori wilayah, klaim Malaysia atas blok Ambalat misalnya, saya bisa mengerti bila kita protes. Dan saya kira pantaslah kita marah dan sudah sepatutnya pula surat keras kita layangkan kepada negara tetangga kita itu. Tapi bila berkenaan dengan klaim produk budaya, patutkah sebenarnya kita marah dan berkoar menantang? Bukankah justru sikap kita harusnya sebaliknya, berbangga? Bangga karena budaya kita telah mempengaruhi dan diakui oleh negeri sebrang tersebut? karena budaya yang kuat akan mempengaruhi budaya lain terutama di zaman globalisme sekarang ini.

Banyaknya penggemar acara “Country” Tantowi Yahya dengan pakaian khas koboinya bukankah berasal produk dari budaya Amerika? Aliran seniman nyentrik Mbah Surip dengan model rambut gimbal dan kostum nyentrik bukankah berasal dari penyanyi Jamaika, Bob Marley? Seni bela diri macam kapulera dan kungfu bukankah bukan berasal dari negeri kita? Dan sepertinya masih banyak lagi produk budaya asing yang kemudian diadopsi oleh sebagian masyarakat kita. Lalu marahkah mereka, negara produk budaya yang kita tiru berasal, ketika produk budayanya kita mainkan? Saya kira tidak. Malah sebaliknya.

Budaya adalah produk suatu masyarakat. Berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat melalui proses yang panjang. berkembangnyapun karena mendapat perhatian dan penghargaan yang intens dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, saya merasa tidak ada alasan untuk marah ketika tari pendet masuk dalam promosi wisata Malaysia. Karena, saya yakin, orang Malaysia tak akan mampu memahami dan menguasai arti tari pendet sebagaimana orang Bali memahami tari pendet. Karena produk budaya bukan kaset pita atau makanan kalengan yang bisa diproduksi pabrikan secara massal ketika mendapatkan master lagu atau resepnya. Budaya membutuhkan proses penghayatan yang intens dari masyarakat.

Sebab itu pula, ketika lagu Rasa Sayange -(terkesan) diklaim oleh pihak Malaysia karena sering dinyanyikan di negeri Jiran sana. saya tak mendapat alaan untuk marah. Karena lagu tersebut begitu dihargai di sana bahkan sering dinyanyikan dalam keseharian masarakat Malaysia. Sedangkan di Indonesia? Ah, Terus terang saya sendiri tidak hafal lagu tersebut.

mungkin itu...
Mungkin yang harus kembali dilakukan oleh kita. kembali memahami dan belajar lebih dalam kebudayaan kita dan mencoba mempromosikannya dengan lebih elegan. Dan tentu saja, kembali belajar akan semangat nasionalisme yang bukan hanya santun namun betul-betul mampu menghargai bangsa tetangga sebagai entitas yang sejajar.

masih bisakah kita berharap?