15 June 2009

bersama founding father



Menengok-nengok berita televisi dan membaca koran tentang persaingan para capres kita yang terus muncul di depan publik membuat benak saya yang sering tak teratur ini tergelitik. Dan bila diamati, sungguh mengkuatirkan bila melihat hubungan antar calon pemimpin kita saat ini. Bukan saja sikap antar pasangan capres yang berlangsung sengit, tapi juga sikap yang ikut berimbas... pada tim sukses yang ada di bawahnya. Saling sindir, saling serang, saling kritik.

Yang saya amati jelas bukan terhadap iklan-iklan yang telah di make-up setebal aspal sedemikian rupa, tapi pengamatan terhadap ekspresi-ekspresi paling kecil yang ditampilkan oleh para pasangan capres dalam berbagai acara. Ekspresi-ekspresi yang remeh dan biasanya sering lolos dari pengamatan biasa, namun justru (ekspresi tersebutlah yang) menunjukkan perasaan-perasaan yang disembuyikan dan tidak disembunyikan. Pada acara pengundian nomor urut dan pada saat kampanye damai, misalnya. Bagaimana mimik dan sikap personal bawah sadar yang tertampilkan (bagi saya) tidak menunjukkan sikap kepemimpinan seorang negarawan. Padahal dalam berbagai momen para capres kita sering ingin tertampilkan dan tercitrakan sebagai penerus founding father kita.

Di titik inilah saya tergelitik, bagaimana mengenal founding father kita dan membandingkannya dengan para capres kita saat ini. Dan sungguh disayangkan, bila yang digembor-gemborkan oleh para capres kita, hanya sebatas romantisasi,patron, keturunan, gaya pakaian, alih-alih ideologi dan ajaran perjuangan, atau sikap kenegarawanan.

Dalam buku Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sedjarah’ dan ‘Peladjaran dari Sedjarah’ terceritakan tentang kehidupan keseharian para pemimpin Republik di pembuangan nun di Pulau Bangka semasa agresi militer Belanda ke II. Konon, para pemimpin Republik yang ditangkap di Yogya dan dibuang ke Bangka (Mr. Roem sendiri ada di antaranya. Bersama Bung Hatta, Bung Karno, dan Haji Agus Salim) itu seringkali memakai waktu mereka untuk berdiskusi tentang keadaan mutakhir.

Namun tak sering juga pembicaraan mereka menyentuh “berbagai perkara kehidupan lain, termasuk soal wanita dan sex. Soekarno kelihatan jadi lebih bersemangat kalau pembicaraan berkisar soal yang dua ini. Sebaliknya, Hatta jadi kelihatan agak dingin, sementara Haji Agus Salim menunjukkan kepakarannya di semua pokok pembicaraan.” Demikian tulis Mr. Roem ...

Ketika pertama kali membaca komentar tadi, saya terbahak. terbayanglkan kalau Soekarno jadi tertarik dan lebih bersemangat (mungkin dengan mencondongkan lebih dalam tubuhnya), dan Hatta justru mendingin di hadapan tema eros, tapi Agus Salim .. anda tebak sendiri.

Di buku lain, setelah revolusi tak ada lagi, karangan Goenawan Mohamad, tertulis juga cerita kecil para founding father kita ketika di pembuangan. Syahdan, di pagi buta di tahun 1942, untuk menghindari dampak serangan tentara Jepang yang menyerang Ambon, Hatta, dan Sjahrir di jemput oleh pesawat dari pembuangannya dengan pesawat Catalina di Pulau Banda Neira. Hatta lalu bergegas dan tergopoh mempersiapkan buku-bukunya dalam enam peti . sedangkan Sjahrir sudah mengajak 3 orang anak, temannya bermain yang ia ajari selama di pembuangan.

Saat akan berangkat masalah muncul karena pesawat yang menjemput tidak cukup besar untuk memuat semuanya. Harus ada yang ditinggalkan. Anak-anak yang ikut dengan Sjahrir. Atau enam-peti buku yang dicintai Hatta. Akhir cerita, (mungkin setelah perdebatan) Hatta merelakan bukunya ditinggal dengan kepastian tak akan terambil kembali kelak (mungkin juga ia menyesal).

Membaca cerita-cerita kecil tadi, buat saya sungguh membesarkan hati. Jadi sadar bahwa para founding father kita juga punya sisi preverse-nya. Tapi lihat sisi lainnya! Mereka terasa lebih human. Terasa ke-mausia-biasa-annya. Dan lebih dari itu, betapa antar mereka sangat begitu akrab! (pembicaraan wanita dan seks tentu saja hanya terobrolkan kepada orang terdekat saja, bukan?). Di samping itu bagaimana mereka bisa mengorbankan kepentingan pribadinya. (saya bisa membayangkan bagaimana kecintaan Hatta terhadap buku-bukunya).

Cerita bahwa para founding father kita sering terlibat diskusi (bahkan perdebatan) sengit tentang ideologi dan dan masalah bangsa di meja diskusi namun kembali akrab saat di meja makan ternyata bukan isapan jempol belaka. Dan dari cerita-cerita seperti inilah kembali tertemukan alasan untuk menjadi bangga menyebut diri seorang Indonesia; dan darinya tertemu alasan akan harapan adanya kepemimpinan yang lebih baik. Seorang negarawan!

***
Seseorang pernah bilang, bahwa kepemimpinan adalah produk dari masyarakatnya. Sebagai individu, kita punya kewajiban untuk memastikan suara kita mengangkat pemimpin yang bener dan menjatuhkan pemimpin yang tak layak. Dan juga memulai (lagi) pekerjaan untuk membesarkan kepemimpinan yang ada disekitar kita. Orang-orang yang rame ing gawe sepi ing pamrih. Orang yang berbuat banyak tanpa banyak bicara. Yang tetap semangat dan punya aksi nyata dalam keterbatasan. Yang lebih peduli hasil ketimbang pencitraan. Dan kepada merekalah seharusnya kepemimpinan kita amanahkan.

2 comments:

ria said...

kenapa ya disebutnya founding fathers..? memang perempuan tidak ikut mendirikan negara ini ya..?
mencermati situasi politik saat ini, rasa-rasanya belum ada kedewasaan berpolitik di negara ini....

Bambang Trismawan said...

kalau ditanya kenapa...saya gak tau pastinya kenapa?
tapi penamaan founding father bukan berarti peniadaan peran perempuan dalam mendirikan negara.


belum dewasa?? jelaslah..lha wong kita ini kan baru 10 tahun belajar berdemokrasi..yah..masih kanak-kanak lah...
tapi semoga ajah ada perbaikan ke depannya.

"My country, right or wrong; if right, to be kept right; and if wrong,to be set right.