10 August 2008

Guyonan Kartolo


Saya selalu ikut-ikutan senang bila melihat senyum tawa seorang teman yang mendengarkan acara humor Kartolo lewat radio mp3 nya. Malah sering saya tergoda untuk ikut mendengarkan dagelannya kartolo. Namun anehnya, pas dengerin, saya sering tak bisa tersenyum tawa lucu persis sebagaimana teman saya yang tertawa lucu karena urat gelinya tergelitik.

humornya Kartolo sering kali lolos, tak tertangkap oleh benak saya.
padahal kalo dipikir2 saya sudah cukup mengerti bahasa Jawa, baik mendengar maupun secara verbal, walau pada tingkat tertentu. Tapi toh tetap saja humornya terasa tak begitu lucu-lucu amat. Tetap saja saya sering ga tahu dimana titik lucunya. Tetap saja ga lucu.

perbedaan budaya kah? Ataukah saya yang ga punya akar budaya dengan budaya Jawa? Atau belum benar-benar bisa saya bahasa Jawa?

Saya percaya dan setuju, dalam hal definisi, lucu itu seperti cinta. Ia tak terdefinisikan tapi dapat diekspresikan. Lucu itu abstrak yang universal. (contohnya: kita tahu apa itu lucu, ya.. saat kita ngalamin sensasi lucu. bukan di saat mendengarkan penjelasan apa itu lucu. Bener kan?)

Anehnya, dalam kasus humor Kartolo, ke-universal-an lucu menjadi tidak berlaku. Ke ‘Universal’an lucu itu hilang. Ke-lucu-an itu hanya dapat di rasakan oleh sebagian orang, persisnya orang yang berakar budaya sama dengan Kartolo.
Apakah Humor Kartolo ini humor yang melokal? Bisa jadi iya.

Dan bila iya, hal tersebut menjadi semakin aneh. Aneh karena fenomena tersebut terjadi didunia sekarang ini. Terjadi di zaman ketika tengah gencar dan derasnya pertukaran informasi yang membanjiri (dan mengkontaminasi) tiap-tiap budaya di muka bumi. Dan ditengah hiruk pikuk pertukaran informasi tersebut justru humor Kartolo tetap awet dalam melokal. Ia tidak terkontaminasi. Ia tiddak tergerus oleh humor-humor impor atau humor-humor macam humor Tukul.

Apakah ia awet karena humor Kartolo ini merupakan hal-hal sepele dalam sebuah budaya, cuma sekedar masalah guyonan. Dan justru karena sepele tersebut humor Kartolo menjadi terawetkan dengan sendirinya ?

Atau apa mungkin, justru dalam hal-hal yang seremeh ini masih bisa kita temukan jejaknya 'geist', spirit-nya Heidegger yang membentuk keunikan masing-masing budaya? Bahkan dalam urusan ketawa sekalipun?

Ataukah saya saja yang terlampau bebas menterjemahkan kata ‘universal’ dalam adigium humor itu universal?
Bahwa saya lupa humor itu juga berkaitan dengan intelektual seseorang. Bahwa humor itu juga bisa merupakan kesepakatan tak tertulis antar individu dalam suatu komunitas. Bahwa humor itu juga bisa merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang

Entahlah. Yang pasti dari ketidaktahuan-ketidaktahuan macam itulah hidup jadi lebih kaya untuk dieksplorasi..
Dan karenanya saya jadi lebih semangat untuk belajar lagi budaya dan orang-orang Jawa, yang kata Thedore Friend, membingungkan.

Membingungkan, seperti dalam pengantar bukunya Indonesian Destinies, karena orang Jawa itu ‘menghidupi hidup yang sebagian berupa ungkapan tanpa emosi sementara sebagian lagi berupa emosi yang tak diungkapkan’.

Walaupun ungkapan itu rasanya cocok juga untuk orang-orang Indonesia.

::Nah, itu guyonan Kartolo menurut saya. Banyak tanya dan mengada-ada? Jelas iya, wong saya juga sekedar ngelantur bertutur kok. Yah, kaya ginilah inspirasi yang tertimba dari dengerin humornya Kartolo::

itu gambar saya contek dari frindsternya cak Kartolo http://profiles.friendster.com/user.php?uid=15360112

2 comments:

satria said...

Mmapir nang kene http://kartolo-mp3.blogspot.com isok ngrungokno langsung utowo download onok revie crito, tiap minggu diusahakan dipudate

Anonymous said...

nek ngrungokno bareng2 dijamin iso ngguyu.