26 March 2008

hujan

Hujan.

Kau selalu tak percaya, Q, memperhatikan hujan turun dari balik jendela kamar atau berjalan ditengah guyuran air hujan adalah sebuah keindahan. Ah, Q sayang, kau tak pernah percaya. Seberapa sering kukatakan sebanyak itu pula kau tak percaya. Dan semakin kau tak percaya, Q, semakin ingin aku bercerita tentang keindahan hujan dan meyakinkanmu tentang keajaibannya.

Tapi untuk kali ini cobalah dengar sekali lagi ceritaku tentang hujan, Q. Kau pasti sudah mendengar cerita ini kan, Q. Namun dengarkanlah sekali lagi, Q, mungkin ini ceritaku yang terakhir kali. Cerita tentang hujan. Hujan kita, Q.

Ditengah guyuran hujan yang deras, jika tak kubawa sesutu yang penting, yang akan rusak jika basah, kadang aku sengaja berjalan, Q. Dan kurasakan tetesan hujan itu, berat dan menghujam di kulitku. Ia turun dengan bebas, tegak menghantam bumi lalu bergabung dengan tetesan lain mengalir entah kemana, Ke sungai mungkin juga sampai ke laut. Air hujan itu turun serempak berderap seperti regu baris berbaris, teratur, namun sekali lagi kukatan, ia bebas, Q.

Aku sering bertanya dalam hati, Q, ada berapa tetesan air yang turun dari atas sana. Jutaan, bukan, dari tak terhitung turun dan menjadi tak terhingga. Q, entah kenapa aku masih ingat tatkala terjebak atau sengaja berjalan diderasnya hujan. Entah kenapa juga aku pasti ingat dimana saja dan kapan aku berada ditengah hujan itu, Q. Kenangan terguyur hujan pasti menempel erat di pikiranku, ia tak mengelupas dimakan waktu.

Pernah suatu kali juga aku terjebak derasnya hujan di atas motor, Q. Air hujan berubah menjadi tajam, ia menyakitkan, Q. Ia seperti mengiris kulitku. Tajam. Berat. Payung? Jas Hujan? Ah, aku sering tak memakainya, Q. Aku lebih senang rambutku basah dan wajahku terkena tetes demi tetes air hujan itu. Menyenangkan. Ia keras ketika menimpa wajahku namun juga seketika menjadi lembut, Mengalir diwajahku. Ia dingin dan membuat segalanya menjadi basah dan hidup. Hidup? Ya Hidup!

Q, Pernah kutengadahkan wajahku ke langit melihat datangnya hujan. Yang kulihat hanya awan, Q. Awan yang kelabu, terkadang hitam menggantung, menggelayut di langit, berat tak tertahankan. Dan aku senang melihatnya, Q. Ingat, suatu saat Kau harus melepaskan bebanmu semuanya, Q, bebas. Seperti awan itu. Ia mengeluarkan semua beban itu sampai ia cukup ringan terbawa angin. Lalu pergi.

Q, masih ingat kau cerita tentang gerimis. Hujan yang rintik itu, Q. Hujan yang turunnya terus menerus namun pelan dan berat. pelan, jarang dan seakan penuh harap. Sering kukatakan gerimis itu hujan yang sedih, Q. Hujan yang menangis. Karena ada harap yang tak terpenuhi. Gerimis adalan hujan antara deras yang kuat dan mendung yang lemah. Ia hujan yang tak sempurna, namun ia indah, Q. Ia adalah sedih yang pasrah. Karena itu ia menjadi indah. Indah dalam pasrahnya untuk menjadi tak sempurna. Sebab itu gerimis selalu merampas hati. Ia datang mendesak kedalam hati ku, Q .

Pernah suatu malam kau bersikeras ingin menggandengku, bersama berjalan dalam lindungan payung mu Q, Namun aku menolak. Ah, kau mungkin sudah lupa, Q. Waktu itu Kau mencemaskanku yang akan sakit bila terguyur hujan. Nggak, Q. Nggak! Hujan adalah temanku, seperti kau juga temanku, Q. Teman tak mungkin menyakiti sahabatnya sendiri. Iya kan, Q.

Aku merindukanmu Q. Hujan yang akan segera berakhir menjelang kemarau ini membuatku sedih. Aku rindu hujan, hujan kita Q.

Dari teman imajiner.



Sukabumi,
Kala musim hujan
Kan berganti

2 comments:

Anonymous said...

berkunjung lagi...
personifikasinya keren. tapi sayang, di jawa timur hampir bisa dipastikan tidak ada hujan seindah itu.

gerimis saja telah berubah menjadi air bah, diterjangnya apapun yang ditemui hiks..hiks..

akh andrik, ane turut berduka cita, andai ada yang bisa ane bantu.

Bambang Trismawan said...

watur suhun atas kunjungannya lagi.
sering-sering nengoknya y.

lha... emang akh andrik berduka cita apa ukh?


dan ttg hujan, kata teman imajiner:
tiap hujan memiliki keindahan
jangan salahkan hujan
bila terjadi bencana