09 July 2010

Jurnalis dan Sainstis

Apa persamaan wartawan dengan saintis?

Jawabannya memang bisa apa saja. Tapi saya memilih jawaban dari wartawan senior Tempo, Amarzan Lubis, yang menurut saya agak-agak filosofis. ”Keduanya sama-sama hidup dari pertanyaan,” ucapnya.

Pertanyaan seperti apa? Inilah pencarian saya tentang tanya menanya tersebut.

Karl Popper, seorang filsup ilmu asal Vienna pengusung teori deduktivisme, menilai bahwa yang bikin sains spesial adalah karena sains berasal dari serangkaian proses pertanyaan yang kritis. Maka, tidak bisa tidak, seorang saintis harus selalu kritis. Artinya harus selalu meragukan dan mempertanyakan segala asumsi. ”Criticism is heart of scince,” kata Karl.

Namun akibatnya, sains deduktivitas adalah perjalanan menggelisahkan tanpa akhir. Karena semua harus dikritisi, diselidik ulang, dan dinyinyiri kembali. Lantas, kapan akan membuat alat pendeteksi ikan di laut misalnya, jika ilmu tentang ikan (ikhtiologi) dan tingkah laku ikan saja, masih dipertanyakan. Inilah yang menyebabkan sains-nya deduktivisme minim akan guna praktis.

Setelah Popper, datanglah Kuhn. Ia datang dengan paradigma baru akan sains. Bahwa sains, kata dia, adalah perjalanan dengan beberapa fase. Ada saatnya satu asumsi meski terus dipertanyakan dan terus diusik. Tapi, ketika asumsi sudah ditetapkan maka sains tidak boleh lagi tanya-tanya apalagi megusik asumsi yang sudah ditetapkan.

Sains harus berjalan melanjutkan ketataran praktis untuk membuat produk praktis dari teori yang sudah diterima. Disinilah seorang yang bekerja dalam sains mesti punya intuisi dan logika yang tanggap kapan ia berhenti bertanya kapan ia terus menerus menelisik.
“Science is self evolving,” meurut Kuhn. Tapi di sini juga orang menjadi semi dogmatis. menerima apa yang sudah ditetapkan tanpa bertanya-tanya kembali.

Lalu apa hubunganya dengan seorang jurnalis?
Jurnalis rada-rada mirip dengan seorang saintis dalam hal tanya menanya. Malah yang dibutuhkan seorang jurnalis bukan hanya kritis, tapi ia juga harus memandang skeptis terhadap sesuatu. Nah lho?!

Tom Friedman, seorang jurnalis New York Times, mengartikan skeptis dengan sikap mempertanyakan segala sesuatu, ragu atas yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian supaya tak mudah ditipu. Berbeda dengan sinis. Sinis adalah penolakan karena seseorang sudah yakin atas jawaban yang dimilikinya terhadap sebuah kejadian.

Tapi masalahnya saya belum tahu kapan seorang wartawan harus terus bertanya dan berhenti bertanya. Kapan harus terus menggali dan kapan kudu berhenti.

Kenapa ini penting? Karena terlalu lama dalam sikap sekeptisme bisa dilihat sebagai bentuk kepengecutan. Karena seorang skeptik senantiasa berani bertanya, tanpa pernah berani melempar jawab final. Jawaban final adalah tabu bagi seorang skeptik. Namun justru di sanalah ia jadi seorang pengecut.

4 comments:

mbah jiwo said...

miss you my impulsif friend...

Romi Anshorulloh said...

Bang, bisa gak menghubungkan si Karl Popper biar bisa janjian sama saya, di warung sate depan BCA yang dekat kamda aja, entar saya yang traktir.... soale saya mau tanya itu juga bang...

Download Ebook Gratis said...

wow good articel nich, thx bro atas infonya :)

Asrul said...

Jurnalis berpegang pada Tata cara berpikir ilmiah, sedang saintis lebih percaya pada filsafat ilmiah..jadi samanya mungkin di situ