24 March 2010

mendefinisikan diri

Saya sering tak tahu harus menjawab apa jika dalam percakapan ada seorang yang bertanya asli mana? Saya biasanya tak bisa langsung menjawab karena bingung, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata “asli” tersebut?
Apakah kata “asli” tersebut mewakili suku, bahasa, tempat lahir, atau budaya? Ataukah justru kata ‘asli’ tersebut merangkum semua pilihan di atas? Lalu, kalau memang ada yang asli, adakah yang tidak asli?

Sampai sekarang pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu muncul dalam pikiran saya. Dan sampai sekarang belum bisa saya jawab dengan jelas.

Pertanyaan ‘asli mana’ sebenarnya bukan pertanyaan yang aneh. Malah pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang lumrah saja terlontarkan dalam setiap obrolan perkenalan di hampir kebanyakan orang. Sepengalaman saya, entah itu kebetulan atau tidak, hampir setiap saya berkenal dengan orang baru, entah itu basa-basi atau bukan, pertanyaan ‘asli mana’ hampir selalu meluncur dari mulut lawan saya bicara. Sepertinya dengan mengetahui lawan bicaranya ‘asli mana’, seseorang punya pengetahuan awal dalam mengenal karakter dan sifat orang tersebut. Dan oleh karena itu, punya cukup pertimbangan untuk memutuskan melanjutkan satu hubungan atau tidak. Entahlah

Kembali ke pertanyaan ‘asli mana’. Bila pertanyaan ‘asli’ itu berhubungan dengan budaya, maka kebingungan saya dalam menjawab pertanyaan ‘asli mana’ adalah mungkin karena saya tidak pernah belajar serius atau tidak pernah mengikuti sampai ke detail-detail akar budaya di mana saya tumbuh.

Misalnya, saya mengaku mempunyai akar budaya Sunda. Dalam artian saya, mempunyai akar budaya Sunda itu berarti, tumbuh besar dalam percakapan dengan bahasa Sunda, punya ikatan emosional sama Si Kabayan dan Si Cepot, pendukung Persib, berasa di rumah bila mendengar degungan Sunda, setidaknya menyukai wayang golek atau calung, dan selintas pernah diperkenalkan dengan seni tari dan karawitan dalam muatan lokal semasa di SMP. Dan lain-lain dan lain-lain. Namun, meskipun mempunyai akar budaya Sunda seperti saya sebutkan di atas, saya merasa akrab juga dengan budaya lain. Kehidupan priyayi kecil ala Umar Kayam, humor-humor celatukan ala Mas Butet, atau tradisi-tradisi Jawa yang diceritakan oleh Kuntowijoyo, yang mereka sepenuhnya adalah Jawa. Seneng juga sama Arema bahkan beberapa kali ikut konvoinya Aremania.

Semua itu terlewati tentunya seiring dengan latar belakang saya. Lahir dari orang tua Sunda asal Sukabumi. Tumbuh besar di Sukabumi, lalu baru pada umur 18 pindah ke Malang untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai penjuru Indonesia. Di Malang itu saya berteman akrab dengan berbagai Suku di Indonesia.

Maka, pertanyaan yang muncul adalah masih bisakan disebut asli bila kenyataannya dalam perjalan hidup mengalami banyak akulturasi budaya dengan budaya luar yang berbeda dengan akar budaya sendiri. Karena setahu saya, kata asli itu selalu mengacu pada kemurniannya. Alias tidak ada campurannya?

Entahlah. Mungkin pada akhirnya, budaya, suku, tempat lahir, keturunan, atau klasifikasi lain apapun itu, terkadang tidak cukup untuk menampung definisi seseorang di dalamnya. Manusia jelas lebih kompleks dari sekedar satu set nilai yang telah dikotak-kotak oleh inspirasi pemikiran manusia. Apalagi tengah hidup di jaman seperti saat ini, di mana begitu deras dan mudahnya pertukaran pemikiran dan nilai antar budaya. Sehingga munculnya seorang yang keluar dari kotak-kotak definisi lama dan mendefinisikan dirinya sebagai seorang berbeda, sebagai seorang ‘antar budaya’, adalah hal yang mungkin saja terjadi.

Mungkin juga tidak. Saya tak tahu pasti. Mungkin sebenarnya tulisan ini adalah bentuk pembelaan diri sendiri karena belum bisa saya menerangkan atau mencerminkan satu sistem nilai atau kelompok budaya di mana saya sebenarnya berdiri. Atau justru tadi itu. mencoba mendefinisikan diri sebagai seorang yang antar budaya.
Ah, entahlah.

Hal yang menarik yang belum terceritakan di atas adalah betapa sederhananya sebagian dari kita memberikan cap tertentu pada satu himpunan manusia. Bahwa yang Makassar itu keras, atau yang Solo sebagai yang halus dan santun... Entah kapan kita akan belajar bahwa keragaman adalah sesuatu yang senantiasa melekat pada manusia di mana saja, entah itu di tanah Papua atau di tatar Sunda.

Entahlah.

Nah, kalau sekarang anda ditanya asli mana, anda akan menjawab apa?

7 comments:

mbah jiwo said...

kalau mbah ditanya,
someone : mbah asli mana?
mbah jiwo : o..saya asli asli...
someone : ...

sudah lama ga posting, posting berat banget nih BAMBANG

Nisye said...

kalo gw sih nanya balik, pengertian 'asli' si penannya apa?
apakah asal/kelahiran orangtua, ayah/ibu? atau suku orangtua?
kelahiran kita? atau besar dimana? atau tinggal dimana?

dulu sih gw heran dengan pertanyaan itu. tapi sekarang gw juga suka nanya ke orang-orang sih :p

kaum pengikut said...

yah bingung juga kalo di tanya asli dari mana mau jawab sukabumi tapi lahir di bogor yaudah asli sunda aja lah walau kadang nantinya terkesan atau kadang ada efek rasis jika penanya beda etnis!

kikakirana said...

hehe,, asli mana??
Klo Qk sich yg pasti lahir di surabaya,,, apa" disurabaya...
pokok e surabaya poll...
tapiiiiiiii kurang mengenal juga tentang surabaya...
ya intinya hidupnya mengalir aja

HIDUP!!! ^_^

Bambang Trismawan said...

MJ< saya malah kadang jawab gini, mbah: asli, saya tidak ada yang asli.. hehe..

Nisye< emang dasar suka bikin bingung elo mah. :P

Kaum pengikut< banyak ko yang kaya ente, rid. malah ada yang lebih parah. lahir di mana besar di mana.

kika< Surabaya sentris juga kamu ya? he.

Ade Aiz Aumadah said...

Asli mana??? ade juga bingung.
Mau jawab asli kalimantan, gak ada muka2 kaltim. Mau jawab asli jawa gak lahir di sini. Asli dari sononya aja dah. Kunjungan pertama.

Bambang Trismawan said...

Ade Aiz makasih udah berkunjung...