Baru-baru ini penyanyi dangdut Dewi Persik (Depe) gembar-gembor tentang keberhasilan operasi selaput daranya (vaginoplasty). Perempuan asal Jember Jawa timur ini, mengaku sudah melakukan operasi keperawanan di Mesir. Tak tanggung-tanggung, biaya yang dikeluarkan untuk operasinyapun terbilang luar biasa. Depe harus merogoh uang sebnilai Rp 1 milyar.
Menurut Depe, salah satu tujuan operasi keperawanan adalah untuk calon suaminya kelak. Sebagai mana diketahui Depe memang sudah dua kali menikah yaitu dengan Saipul Jamil dan Aldi Taher.
“Meski statusku janda, aku kan masih akan tetap perawan pada saatnya. Aku melakukan semua ini juga untuk suamiku nanti. Jangka panjang lah,” kata Depe seperti dikutip salah satu media online, belum lama ini.
Mendengar komentar Depe tentang keperawanan, saya teringat dengan konsep keperawanan yang disampaikan Rara Mendut. Rara Mendut adalah tokoh utama dalam novel yang berjudul sama dengan namanya karya YB Mangunwijaya alias Romo Mangun.
Dikisahkan, Rara Mendut adalah budak rampasan dari pantai utara yang menolak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna. Wiraguna adalah orang nomor dua di Kerajaan Mataram saat itu. Saat Rara Mendut dirampas dari desanya dan tinggal di istana Pati, kediaman Adipati Pragola, suatu kali dia menyampaikan konsep keperawanan kepada dayangnya, Genduk Duku.
Menurut Mendut, yang mendapat petuah tentang keperawanan dari ibunya, perawan dan tidak perawan bukan lagi pada keadaan fisik, tapi terletak pada hati seseorang perempuan.
Sengaja saya kutip penggalan dialog Rara Mendut dengan Genduk Duku:
“Dengarkan, Gendukku.” Lalu telapak tangan Mendut meletakkan diri berat menekan pada dada si Genduk. “Ini, Nduk. Ibuku selalu berpesan kepada Mendut, ‘perawan dan tidak perawan terletak pada tekad batin, pada galih di dalammu.’ Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, tetapi bila itu melawan kemauan, mereka masih perawan. Dewi Sinta seandainyapun dia sudah ditiduri oleh Rahwana. Dewi Sinta yang melawan, tetaplah perawan. Bahkan ibuku berkata, dan biar ibuku hanya perempuan desa tetapi saya selalu percaya ibuku benar, ‘Seorang ibu yang sudah melahirkan anak tujuh pun, bila dia suci dalam pengabdiannya selaku istri setia dan ibu, diapun perawan dalam arti yang sejati.’ Percayalah Nduku Dukuku. Jangan takut. Kau percaya, Dukuku?”
Konsep keperawanan yang berbeda dari dua perempuan yang berbeda pula. Rara Mendut hidup di tahun 1600-an di zaman kerajaan Mataram. Zaman di mana raja bisa dengan seenaknya mengambil ratusan perempuan yang disukainya untuk dijadikan sebagai selir. Tentu saja, di masa tersebut keperawanan bisa dengan mudah direnggut oleh kekuasaan.
Sementara Dewi Perssik hudup di masa kini, masa ketika orang bisa dengan mudah membangun hubungan, mengutip lagu dangdut, Cinta Satu Malam, dan den gan mudah pula melakukan operasi keperawanan. Meski tentu saja tidak murah.
Yang satu bersandar pada jiwa, sedangkan yang lain pada fisik. Yang saya heran, konsep keperawanan zaman dahulu, yang diajarkan dari seorang ibu kepada anaknya kok sepertinya luntur dimakan waktu.
No comments:
Post a Comment