Merayakan ide, makna, rasa dalam bahasa. Sebelum terperangkap dalam ketidaktahuan dan ketidakmampuan mengungkap.
08 June 2011
Bertamu Ke Perbatasan
Dulu, ketika pertama kali mendengar pembuatan film Batas, saya girang bukan main. Sebagai penikmat film, tentu saja saya senang, karena saya pikir film ini akan menyuguhkan sesuatu yang berbeda dari film-film tanah air yang sedang beredar di bioskop saat ini.
Apalagi jauh hari sebelum pemutaran, banyak berita tentang film Batas muncul di berbagai media. Misalnya, berita dari produser Marcella Zalianty yang mengisahkan beratnya medan ke lokasi syuting di daerah Entikong, Kalimantan Barat sana. Bahkan istri pembalap Ananda Mikola ini sampai harus membuka jalan baru agar mobil bisa lewat.
Belum lagi cerita dari sang sutradara, Rudi Soejarwo. Dia menceritakan tentang masyarakat Suku Dayak yang begitu teguh memegang adat dan selalu menyelesaikan setiap masalah lewat jalur adat.
Semua berita dan cerita yang disampaikan itu tentu saja membuat kontruksi sendiri cerita film Batas di benak saya. Namun setelah menonton, saya tidak mendapatkan apa yang saya bayangkan dari cerita dan berita-berita yang saya baca sebelumnya.
Pidato Sang Produser
Film ini berpusat pada tokoh Jaleswari (Marcella Zaliyanty) yang datang ke perbatasan Kalimantan Barat. Jaleswari adalah seorang relawan dari Jakarta yang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah program bantuan pendidikan sebuah perusahaan yang tiba-tiba terhenti di daerah perbatasan.
Dalam menjalankan tugasnya tersebut dia kemudian dihadapkan dengan budaya, dan dihenyakkan dengan keadaan masyarakat di daerah perbatasan. Keadaan yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya.
Sebagai film yang memotret daerah perbatasan film ini layak diacungi jempol. Karena mau tersaruk-saruk datang ke sudut-sudut lain di Indonesia untuk memngangkat setting yang tak pernah tersentuh layar lebar tanah air.
Namun sayangnya film ini tidak dibarengi dengan cerita yang utuh tentang masalah-masalah perbatasan. Misalnya tentang paradoks daerah perbatasan. Kontras kesejahteraan dengan negeri tetangga. Sarana dan akses yang masih berupa mimpi bagi anak-anak di perbatasan, dan lain sebgainya dan lain sebagainya.
Menonton film Batas saya serasa bertamu ke daerah perbatasan. Bertamu dalam arti kita datang, melihat masyarakat perbatasan namun yang dihidangkan ke penonton adalah masalah-masalah yang dimpor ke perbatasan. Bukan masalah-masalah asli masyarakat daerah perbatasan.
Meski dalam film ini menceritakan perdagangan manusia, namun cerita perdagangan wanita terkesan hanya sebagai penggenap cerita film ini.
Selain itu Ada beberapa dialog yang sepertinya terlalu dipaksakan hanya untuk mengulang kata ‘batas’.
Terlepas dari catatan-catatan di atas saya kira film ini layak ditonton.
Selamat menonton
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment