Ada rasa prihatin saat membaca laporan yang diturunkan oleh Media Indonesia hari Jum’at (10/6/2011), kemarin. Secara umum laporan tersebut mengupas tentang sulitnya mata pelajaran Bahasa Indonesia di kalangan pelajar SMA.
Dalam laporan tersebut disebutkan sebanyak 1.786 siswa SMA/MA se-Indonesia tidak lulus Ujian Nasional dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan siswa yang tidak lulus dalam mata pelajaran bahasa Inggris yaitu sejumlah 152 siswa. Sementara, yang sepertinya tidak asing, ketidaklulusan terbanyak masih dipegang oleh mata pelajaran matematika, yaitu sebanyak 2.392 siswa.
Pertanyaan dari orang awam tentang pendidikan seperti saya, tentu saja, begitu susahkah pelajaran bahasa Indonesia?? Padahal Bahasa Indonesia adalah bahasa yang banyak dipergunakan dalam kehidupan sesehari selain bahasa ibu.
Jika melihat perbandingan kelulusan mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, pertanyaan lain yang muncul, benarkah bahasa Inggris lebih mudah dibandingkan bahasa Indonesia? Padahal kita tahu, kebanyakan dari kita, saya misalnya, selalu gelagapan bila berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Dari pertanyaan sederhana tersebut saya jadi meragukan jika UAN dijadikan sebagai satu-satunya alat uji untuk mengukur kemampuan berbahasa Indonesia siswa-siswa.
Apa sebab, soal UAN yang seluruhnya menggunakan metode pilihan ganda, hanya menguji kemampuan membaca siswa. Sementara pelajaran Bahasa Indonesia bukan cuma tentang membaca. Tapi juga mencakup keterampilan, menulis, berbicara, dan mendengarkan
Jadi, bagaimana menilai keterampilan menulis dalam soal pilihan ganda? Apakah memilih satu jawaban dari empat pilihan yang disediakan bisa merefleksikan kemampuan anak mengekspresikan dirinya dalam menulis?
Apakah soal pilihan ganda untuk memilih mana pantun, dan mana puisi menggambarkan kemampuan anak membuat puisi? Menulis adalah kemampuan produktif untuk mengembangkan gagasan di otak. Sedang membaca soal pilihan ganda tidak ada urusannya dengan memproduksi gagasan.
Jadi mengukur satu kemampuan berbahasa yaitu membaca menjadi harga mati untuk megukur dan menilai kecerdasan seorang siswa. Jadi apa gunanya para siswa belajar habis-habisan jika alat pengujinya tidak valid dan tidak bisa diandalkan?
Ini bukan berarti pula saya menganggap siswa SMA mampu berbahasa Indonesia dengan ‘baik dan benar’. Apalagi di tengah fenomena para remaja saat ini keranjingan menggunakan bahasa menggunakan kode-kode alias alay.
Budayawan dan penulis Ajip Rosidi pun pernah mengungkapkan keprihatinan tentang lemahnya penguasaan berbahasa Indonesia di kalangan pelajar. Padahal, kata Ajip, mudah sekali jika ingin melatih keterampilan berbahasa Indonesia di kalangan pelajar.
Dirikan perpustakaan. Beri siswa kesempatan untuk membaca buku-buku yang baik di luar jam mata pelajaran. Apa itu buku-buku baik? Salah satu contoh buku yang baik adalah buku-buku sastra yang sudah diakui mutunya.
Pertanyaannya, sudahkah Kemendiknas mengusahakan untuk mendirikan perpustakaan di sekolah dengan koleksi buku yang bermutu? Jika belum, rasa-rasanya persoalan berbahasa Indonesia akan tetap menjadi momok bagi pelajar menjelang UAN tiap tahunnya.
Salam.
No comments:
Post a Comment