Merayakan ide, makna, rasa dalam bahasa. Sebelum terperangkap dalam ketidaktahuan dan ketidakmampuan mengungkap.
09 December 2011
Hercules dan Lelaki Yang Membakar Dirinya Sendiri
Hercules yang gagah perkasa akhirnya memilih menghabisi dirinya dengan membakar dirinya sendiri. Putra tersayang Zeus itu tak sanggup lagi menanggung penderitaan yang dialaminya.
Hercules tak menyangka jubah pengorbanan yang dikenakannya saat akan merayakan kemenangan, setelah menundukkan Eurystus, malah menjadi akhir dari petualangannya.
Racun dari darah Nessos pada jubahnya sungguh sangat mematikan. Setiap senti dari jubah yang dikenakan Hercules seperti menusukkan belati sampai ke sumsum tulangnya. Semakin kuat Hercules mencoba melepaskan jubahnya, semakin dalam cengkraman belati menghujam tubuhnya.
Hercules putus asa, lalu memilih hangus menjadi abu.
“Apakah lelaki yang ini juga membakar dirinya sendiri karena penderitaan yang sangat, Guru?” Sebuah suara merdu memotong Sang Guru saat sedang menceritakan akhir kisah Hercules.
Si pemilik suara merdu, seorang gadis kecil, bertanya sambil meyodorkan sobekan koran yang didapatnya dari alas donat yang dibelinya tadi pagi.
Sang Guru tak siap mendapat pertanyaan dari muridnya itu. Ia lalu membaca potongan koran yang disodorkan padanya:
Diduga Stress, Seorang Lelaki Membakar Diri Di Depan Istana.
“Iya, mungkin saja,” jawab sang Guru, ragu.
“Apa stress itu, Guru,” kembali si gadis bertanya. Kata ’stress’ sangat asing di usianya yang masih belia.
“Kenapa lelaki itu sebegitu berani membakar dirinya sendiri? Apakah dia tidak tahu api itu panas? Tidak tahukah manusia tidak meleleh saat dijilat api, tapi terbakar, Guru?”
Sang Guru mencoba mengendapkan pertanyaan murid kesayangannya itu.
“Apakah dia ingin meniru Ibrahim, Guru? Apakah dia ingin memanggil api yang dulu pernah memanggang Ibrahim namun api tak bisa menyentuh kulit Ibrahim. Apakah ia ingin Tuhan menciptakan api yang sejuk lagi, Guru?”
Pertanyan muridnya sudah seperti gugatan pikir Sang Guru.
“Mungkin ia seperti Hercules. Ia sangat menderita dan tak punya pilihan lain selain membakar dirinya,” jawab sang Guru.
“Kenapa kehidupan tak memberikan banyak pilihan bagi lelaki itu,” tanya Si Gadis.
“Bukan kehidupan, anakku,” ralat Sang Guru, “tapi penderitaan dan kemiskinan. Penderitaan dan kemiskinan memang tak menyediakan banyak pilihan. Banyak orang tak bisa menghadapi penderitaan dan kemiskinan. Terutama rasa lapar. Mungkin salah satunya si laki-laki itu.”
Si gadis kecil masih tak mengerti kenapa kemiskinan dan penderitaan bisa membuat lelaki itu menjadi gelap mata.
Bukankah gurunya pernah mengajarkan bahwa kemiskinan, juga penderitaan, adalah sebuah tempaan. Banyak sudah tokoh yang dulu diceritakan gurunya, tokoh yang begitu agung menghadapi penderitaan dan kemiskinan. Dari pada memilih jalan membakar diri seperti laki-laki yang entah siapa namanya itu.
Bukankah bunuh diri adalah dosa besar?
Pernah gurunya bercerita suatu kali tentang seorang pemimpin besar Iran, Imam Khomeini, yang ketika meninggal hanya mewariskan selembar tikar. Bukankah gurunya juga pernah berkisah tentang Siddharta Gautama memilih meninggalkan kemewahan istana dan hidup terlunta-lunta dijalanan.
Pikiran-pikiran itu mengganggu Si Gadis Kecil. Ia ingin menanyakan semua pertanyaan itu kepada gurunya. Namun gurunya terlihat termenung, larut dalam pikirannya.
Si Guru merasakan apa yang mengganggu pikiran muridnya.
“Ah, muridku,” pikir Sang Guru, “Khomeini dan Shiddarta tentu saja bukan bandingan si laki-laki yang mengguyurkan bensin ke sekujur badannya lalu membakar dirinya sendiri. Kemiskinan yang datang kepada Khomeini dan Siddharta bukan kemiskinan yang dipaksakan secara struktural. Melainkan kebersahajaan yang merupakan pilihan hidupnya.”
Ia ingin menceritakan semua itu pada muridnya. Tapi mungkin si Gadis Kecil belum mengerti. Belum mengerti bahwa di negerinya orang-orang di sergap kemiskinan dan penderitaan bahkan sebelum ia bisa menentukan pilihan hidupnya.
Sang Guru hanya mengusap rambut muridnya dan berjanji untuk mengajak si gadis kecil menengok si lelaki yang membakar diri di rumah sakit. Mungkin laki-laki itu bisa menjawab semua rasa penasarannya. Mungkin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
mampir ya ke blog saya juga di Computer Indonesia | the largest blogger indonesian dan juga blog baru ane di kukunci support ajah :) terimakasih..... salam blogger
Post a Comment