(1)
Aku suka gerimis. Gerimis membuat udara pengap di kolong jembatan menjadi lumayan. Tapi gerimis di malam Tahun Baru tak pernah membuatku senang. Hujan di malam Tahun Baru hanya membuat orang malas keluar. Tak ada pesta pora di jalanan. Artinya lagi tak ada yang bisa kupungut untuk menyambung hidup.
Gerimis dan angin makin pekat. Kurapatkan sarung yang membalut tubuhku. Dua tahun yang lalu, gerimis turun sama pekatnya, saat hendak kutinggalkan istriku ke Jakarta.
"Tunggulah sebentar. Nanti akan kulunasi semua hutang berobat anak kita," janjiku.
Kau tersenyum. Tapi kabut di matamu tak juga hilang. Malah menelanku di dalamnya.
Saat itu, kau mencoba menahanku sejenak. "Masih hujan, Mas," katamu. Kau berbalik hendak mengambil payung. Namun tersadar, itulah barang terakhir milikmu yang kau jual. Saat itu pula aku berjanji dalam hati, akan kubelikan kau payung baru saat pulang nanti.
Tapi, istriku, berapa janji yang tak bisa kupenuhi. Kau benar, sudah hampir dua tahun aku di ibu kota, tapi uang yang kukumpulkan masih juga tak seberapa. Menggelandang dan memulung hanya untuk tetap jadi manusia. Katamu, Jakarta menelan manusia. Kau benar, Jakarta menelan harapan.
Suara arak-arakan sesekali terdengar di atasku. Masih 4 jam ke penghujung tahun. Gerimis belum juga reda. Samar-samar suara terompet terdengar. Suara klakson bersahutan. Betapa meriah di luar sana. Gerimis membahasahi mataku lalu kurasa nyeri di dadaku.
(2)
Batu, Malang, Jawa Timur
31 Desember 2011
Sedari pagi hape bututku berbunyi terus. Di layar tertera sepuluh panggilan tak terjawab dari satu nama, Mami. Sialan, bila ada maunya, nyonya tua itu perhatian bukan main.
Satu pesan masuk dari nama yang sama: jangan sampai tak datang nanti malam. Akan ada banyak tamu. Banyak yang minta ditemenin.
Ah, aku ingin perei saja malam ini. Mami harusnya tahu, aku tak suka suara terompet. Ia mengingatkan pada suamiku. Pada kehilangan-kehilangan yang kualami. Aku ingin istirahat malam ini. Menemani anakku. Tadi siang, anakku meminta jagung bakar yang ada di alun-alun. Tapi, sungguh, sudah tak ada uang di kantong.
Uang. Mungkin benar kata Mami, nanti malam akan banyak orang berpesta. Lumayan, bisa menyambung hidup dan menambah buat beli obat anakku. Kata dokter, kartu miskin tak bisa buat beli obat anakku.
Langit gelap, gerimis mulai turun. Kutaburi wajahku dengan bedak murahan. Sayup-sayup, jalanan mulai riuh. Ya.. berangkatlah. Berpestalah. Aku tahu kau butuh hiburan. Sedang aku butuh uang. Mampirlah ke tempatku nanti..
Jam sepuluh hujan tak juga reda. Hape bututku berbunyi lagi. Kuabaikan. Mungkin Gusti Allah sedang marah padaku. Tapi bukankah ini Maha Penyayang juga Maha Mengerti??
Di ranjang kulihat anakku sudah tertidur nyenyak. Ah, wajahnya mirip betul dengan ayahnya. kubersihkan wajahku, lalu kudekap ia sampai aku tertidur.
_______________________
Selamat Tahun Baru, kawan.
Saya doakan semoga tahun depan menjadi lebih baik.
No comments:
Post a Comment