Sepuluh Broadcast
Message masuk ke Blacberry Andi sebelum jam sepuluh pagi. Saking keselnya, Andi
menulis status di Bbnya. “Insyaallah
semua sudah saya maafkan. Mohon tidak BM maaf-maafan.”
Tak sampai dua
menit, BM maaf-maafan jelang Ramadhan datang lagi. Kali ini pengirimnya dari sahabat
lamanya, teman sedari sekolah sampai kuliah. Merasa tak tak dihiraukan, lansung ia telepon
teman lamanya tersebut.
“Bisakah kau tak
mengirim broadcast message!?”
“Lho, emang
kenapa? Kalau kau tak suka kau tinggal hapus saja. Bebas.”
”Maksudku, kalau kau mau minta maaf, minta maaflah dengan serius.”
”Siapa yang bercanda? Kau kira aku bercanda? Kau yang terlalu serius, Kawan. BM itu fasilitas BB. Kalau yang bikin ajah memfasilitasi, kenapa pula kau jadi sewot.”
”Maksudku, kalau kau mau minta maaf, minta maaflah dengan serius.”
”Siapa yang bercanda? Kau kira aku bercanda? Kau yang terlalu serius, Kawan. BM itu fasilitas BB. Kalau yang bikin ajah memfasilitasi, kenapa pula kau jadi sewot.”
“Maksudku begini,
Kawan. Minta maaflah secara personal. Jangan dengan BM. Minta maaf dengan BM
itu seperti tak serius. Juga tampak tak tulus.”
“Kau ini naif,
kawan. Aku tak punya waktu bila harus menyapa satu-satu. Dan sejak kapan kau jadi
penceramah, heh? Aku sadar sekarang, orang yang tidak mau menerima BM
maaf-maafan itu orang yang tidak serius untuk saling memaafkan.”
“Logika mu
terbalik, Kawan. Keliru. Justru orang yang mengirim BM maaf-maafan itu yang tidak
serius meminta maaf.”
“Ah, kau masih
saja sok benar. Merasa paling benar sendiri.”
“O, duniaa... Kau
masih saja keras kepala.”
Dan telepon pun
terputus.
Tak lama, keduanya mengirim SMS yang sama.
Mohon maaf, kawan. Kau belum berubah juga. haha..
No comments:
Post a Comment