Apa yang terjadi pada Konggres PSSI kemarin malam sungguh sangat memilukan. Perjuangan berdarah-darah para pecinta sepak bola tanah air saat menurunkan Nurdin Halid ternyata hanya menghasilkan wakil-wakil yang tak kalah bebal, yang kemudian mendadak bisa berteriak.
Bagaimana tidak memilukan, konggres yang diharapkan sebagai awal memperbaiki prestasi sepakbola nasional ternyata tidak menghasilkan apa-apa hanya kericuhan. Bahkan konggres berubah sebagai ajang memperebutkan keuntungan bisnis di industri sepakbola.
Ah, sepertinya sudah menjadi rahasia umum jika apa yang terjadi di konggres kemarin adalah bukan pertarungan wakil-wakil yang menginginkan kemajuan sepak bola. Tapi pertarungan memperebutkan bisnis di industri sepakbola antara pengusaha pengusahan dan para mafia sepakbola.
Tak heran, saat palu diketok tanda berakhirnya konggres oleh Agum Gumelar, tanpa menghasilkan apa-apa selain kericuhan, begitu banyak nada kecewa terdengar dari pecinta sepak bola. Ungkapan rasa kecewa, sedih, prihatin, sampai marah beredar ramai di dunia maya.
Meski memang ada juga yang memaklumi kericuhan konggres sebagai sesuatu yang Indonesiawi. Hal yang sangat lumrah terjadi dalam hampir setiap konggres atau sidang di Indonesia belakangan ini.
Memang sepertinya tak salah punya pendapat tersebut. Apalagi hampir di seluruh konggres-konggres organisasi, terlebih partai politik kerap terjadi kericuhan.
Tak usah ngomongin Konggres partai politik atau sidang DPR, di Konggres organisasi insan perfilman pun, PARFI, terjadi kericuhan saat konggres digelar. Padahal PARFI adalah organisasi para artis. Bukankah artis adalah pekerja keindahan, artist. Dan bukankah keindahan itu adalah puncak kebenaran dan kebaikan.
Pertanyaan yang sama sahih diajukan ke Konggres PSSI. Konggres sebuah organisasi olah raga. Bukankah olahraga itu berkisah dan mengajarkan tentang spotifitas?
Tapi kenapa masih ada yang menganggap kericuhan pada konggres bukan sebagai sesuatu yang memalukan bahkan memilukan? Mungkin karena sudah lama rakyat Indonesia selalu menerima, memafhumi, dan sangat mudah memaafkan kesalahan para wakilnya.
Tentu saja maksud dari tulisan ini tidak seperti yang tertera dari judul tulisan ini. Meski mungkin idenya bisa diperdebatkan. Tulisan ini hanya menyampaikan kekecewaan karena melihat para peserta konggres yang selalu mengatasnamakan rakyat tapi hanya memikirkan dirinya sendiri.
Inilah bentuk ketidakpercayaan kepada para peserta konggres yang di tiap kesempatan selalu bilang sebagai pemilik hak suara sah. Mereka yang dalam konggres selalu meneriakkan nam a rakyat dan bangsa Indonesia, namun sebenarnya hanya memikirkan kelangsungan jabatan dan keuntungannya pribadi.
Saya tidak rela jika kepengurusan organisasi olahraga yang begitu dicintai kebanyakan rakyat Indonesia diserahkan kepada orang-orang yang hanya memikirkan bisnis dan keuntungan semata, alih-alih prestasi.
Atau mungkin sudah saatnya dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat yang tak pernah memikirkan keuntungan hanya perbaikan dan prestasi untuk sepakbola tanah air.
Atau memang kita hanya bisa menunggu dan berharap datangnya sang Ratu Adil yang entah kapan datangnya..
Selamat malam Indonesia..
4 comments:
Bambang, apa kabar? Lama ngga main kesini, sibuk sendiri...
Hari ini juga ndak baca tulisannya, langsung komen. GImna nih kabar? Cerita dong...
Ini blog bisnis saya mbang...
pilih mas bambang aja deh :D pak Dede nikah boz
@mbah jiwo< oke mbah...
Oen< hhehe ntar timnasnya tambah gak juara, Un..
iya aku juga kaget, moro wes nikah ae.. gak rame2.. hhe
Post a Comment