Aku hampir tak mengenalinya saat dia muncul
di berita jam 7 malam. Saat itu aku baru saja keluar dari kamar mandi setelah
bermain badminton di lapangan dekat komplek. Ia muncul di segmen kedua. Di
segmen pertama, dari kamar mandi samar-samar kudengar penyiar memberitakan
tarik-ulur rencana kenaikan harga bensin dan solar.
Di segmen kedua itulah si penyiar mengabarkan bahwa polisi telah mengamankan seorang warga yang mengaku nabi. Maulana namanya. Ia bersama pengikutnya diamankan karena hampir menjadi bulan-bulanan massa. Penyiar mengatakan, Maulana dan pengikutnya digerebek warga ketika tengah melakukan ritual di sebuah rumah yang letaknya jauh dari perkampungan namun disebut-sebut meresahkan warga. Tempatnya semacam padepokan. Maulana tinggal di kediamannya di dekat perbatasan Lembang-Bandung.
Di segmen kedua itulah si penyiar mengabarkan bahwa polisi telah mengamankan seorang warga yang mengaku nabi. Maulana namanya. Ia bersama pengikutnya diamankan karena hampir menjadi bulan-bulanan massa. Penyiar mengatakan, Maulana dan pengikutnya digerebek warga ketika tengah melakukan ritual di sebuah rumah yang letaknya jauh dari perkampungan namun disebut-sebut meresahkan warga. Tempatnya semacam padepokan. Maulana tinggal di kediamannya di dekat perbatasan Lembang-Bandung.
Maulana diamankan pada Jumat malam. Sehari kemudian, ia
bisa diwawancarai langsung oleh stasiun telvisi berita secara
eksklusif. Hebat pikirku.
......
Jarak ratusan kilometer antara si penyiar dan Maulana sudah tak
ada lagi artinya. Maulana yang berada di Bandung diwawancarai oleh penyiar yang
berada di Jakarta. Aku menyaksikan wawancara ini seperti menyaksikan
pertandingan tinju.
Ronde satu dimulai.
“Pak Maulana,
Anda percaya bahwa anda ini seorang nabi?”
“Saya tak
harus percaya bahwa saya ini nabi untuk membuktikan bahwa saya ini seorang
nabi.”
“Jadi benar
anda ini nabi?”
“Saya bilang,
saya tak perlu pengakuan untuk meyakinkan bahwa saya adalah seorang nabi atau
bukan.”
“Jadi, anda
ini seorang nabi atau bukan?”
”Anda ini ruwet sekali. Saya kira jawaban saya sudah jelas.”
”Anda ini ruwet sekali. Saya kira jawaban saya sudah jelas.”
Aku tersenyum
melihat debat macam ini. Wajah si penyiar seperti petinju professional
yang tak menyangka mendapatkan hook di pelipis kanannya di ronde pertama dari
petinju amatir. Tak mau dipermalukan oleh petinju amatir yang tak jelas asal
usulnya Si penyiar mencoba membalas.
“Pak Maulana,
jika anda nabi, tentu anda punya kelebihan. Maksud saya mukjizat. Anda tahu
setiap nabi dianugerahi mukjizat. Bisa ceritakan apa mukjizat yang anda miliki?”
“Anda
sebenarnya boleh tak percaya kalau saya ini bukan nabi. Saya tak akan memaksa.”
“Tapi kan
anda ini dipercaya oleh pengikut anda sebagai nabi?”
“Tanyakanlah
pada mereka.”
“Oke.
Pak Maulana, bagaimana cara ibadah anada. Apakah anda juga sholat seperti umat
Islam, atau misa seperti pemeluk Kristiani, atau mungkin bertapa?”
“Kenapa? Anda
mau menambah pahala saya,?”
Wawancara
kalah
Maulana,
orang yang mengaku nabi, adalah teman sekolahku di SMP. Dulu, namanya Asep
Saepudin alias Asep Ucing. Aku mengenalnya karena saat kelas dua SMP ia duduk
di belakang mejaku. Ia duduk di kursi paling pojok di samping jendela.
Di sekolah kami, ada lima siswa yang bernama Asep. Seperti umumnya nama orang Sunda, kelima nama Asep itu pun redundan. Dari kelima orang itu, tiga orang bernama Asep Saepudin. Sisanya bernama Asep Saepullah dan Asep Saefullah.
Agar tak keliru menyebut dan tak salah memanggil nama mereka, kami memberikan nama alias kepada lima orang itu. Tiga Asep pertama kami panggil Asep Ucing, karena perangainya mirip kucing yang tampak selalu mengantuk. Asep Cacing karena perawakannya kurus dan sering mengulet. Tampak seperti cacing yang kau simpan di batok kelapa untuk umpan memancing nila di empang. Dan Asep Maghrib karena warna kulitnya mengingatkan kita pada suasana menjelang waktu sholat Maghrib.
Asep Saepullah kami sebut Asep Dadang, karena ayahnya bernama Dadang. Kautahu, jika ada orang yang biasa-biasa saja, dan kau bingung membedakannya sementara ia harus dibedakan, maka nama ayahnya adalah julukan yang paling pas ditempel di belakang nama orang tersebut. Cara seperti itu tak cuma bikin beda tapi juga lucu. Orang-orang arab dulu melakukan itu. Tapi kami melakukan itu untuk bahan candaan dan bahan lelucon. Asep yang terakhir adalah Asep Cepak, karena potongan rambutnya tak pernah lebih dari dua senti.
Di sekolah kami, ada lima siswa yang bernama Asep. Seperti umumnya nama orang Sunda, kelima nama Asep itu pun redundan. Dari kelima orang itu, tiga orang bernama Asep Saepudin. Sisanya bernama Asep Saepullah dan Asep Saefullah.
Agar tak keliru menyebut dan tak salah memanggil nama mereka, kami memberikan nama alias kepada lima orang itu. Tiga Asep pertama kami panggil Asep Ucing, karena perangainya mirip kucing yang tampak selalu mengantuk. Asep Cacing karena perawakannya kurus dan sering mengulet. Tampak seperti cacing yang kau simpan di batok kelapa untuk umpan memancing nila di empang. Dan Asep Maghrib karena warna kulitnya mengingatkan kita pada suasana menjelang waktu sholat Maghrib.
Asep Saepullah kami sebut Asep Dadang, karena ayahnya bernama Dadang. Kautahu, jika ada orang yang biasa-biasa saja, dan kau bingung membedakannya sementara ia harus dibedakan, maka nama ayahnya adalah julukan yang paling pas ditempel di belakang nama orang tersebut. Cara seperti itu tak cuma bikin beda tapi juga lucu. Orang-orang arab dulu melakukan itu. Tapi kami melakukan itu untuk bahan candaan dan bahan lelucon. Asep yang terakhir adalah Asep Cepak, karena potongan rambutnya tak pernah lebih dari dua senti.
Bersambung…
No comments:
Post a Comment