Seorang teman pernah bertanya, apa penyesalan terbesar dalam hidupmu ?
Meski disampaikan sambil lalu, pertanyaan tersebut terus berputar-putar di dalam kepala hingga sekarang.
Ah, penyesalan, kenapa ia selalu datang belakangan? Saya
tidak tahu. Mungkin seperti kata Stephen Hawking, karena manusia cuma bisa
mengingat waktu psikologis. Manusia hanya bisa mengingat masa lalu dan bukannya masa
depan.
Jadi apa penyesalan terbesar? Kalau harus menjawab pertanyaan di atas, sepertiya ada dua penyesalan dalam hidup saya. Dan andai saja waktu bisa diputar ulang, atau ada mesin penjelajah waktu, saya ingin mengulang kembali ke waktu tersebut.
Jadi apa penyesalan terbesar? Kalau harus menjawab pertanyaan di atas, sepertiya ada dua penyesalan dalam hidup saya. Dan andai saja waktu bisa diputar ulang, atau ada mesin penjelajah waktu, saya ingin mengulang kembali ke waktu tersebut.
Tentu saja berandai-berandai macam itu tak akan membuat masalah selesai. Hanya mengorek-ngorek luka lama.
Baiklah, agar ceritanya sedikit seru, saya ceritakan dari penyesalan yang kedua terlebih dahulu.
Penyesalan saya yang kedua datang di masa masa-masa akhir kuliah. Waktu itu, bisa dibilang saya sedang melarat. :D Tabungan yang tak seberapa sudah terkuras untuk skripsi. Sementara, jatah dari orangtua sudah habis buat persiapan wisuda. Ah, kuliah memang tak murah. Ingat itu.
Karena berbagai alasan, saya juga tak bisa meminta uang tambahan ke orangtua. Jadi akhirnya dengan sangat
terpaksa beberapa buku yang belum saya kirim ke rumah, saya lego untuk
memperpanjang hidup di Malang. Empat buku seratus ribu rupiah. Murah.
Buku yang saya jual adalah, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya Goenawan Mohamad, Kentut Kosmopolitan, Seno Gumira Ajidarma, kumpulan features Dari Bali sampai Venesia, Shindunata dan satu lagi serial Soekarno-saya tak ingat judulnya apa.
Beruntung saya punya teman yang sama-sama mencintai buku. Jadi saat melepas buku tersebut, saya cukup lega karena buku tersebut tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Begitu ada uang, mungkin saya bisa membayar kembali buku-buku tersebut. Begitu pikir saya.
Buku yang saya jual adalah, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya Goenawan Mohamad, Kentut Kosmopolitan, Seno Gumira Ajidarma, kumpulan features Dari Bali sampai Venesia, Shindunata dan satu lagi serial Soekarno-saya tak ingat judulnya apa.
Beruntung saya punya teman yang sama-sama mencintai buku. Jadi saat melepas buku tersebut, saya cukup lega karena buku tersebut tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Begitu ada uang, mungkin saya bisa membayar kembali buku-buku tersebut. Begitu pikir saya.
Tak terbayang jika saya
harus menjual buku tersebut ke pasar buku Wilis, Malang. Kemungkinan buku tersebut hanya
dibeli setengahnya. Penjual buku di pasar Wilis menghargai buku bukan dari
penulis, tapi dari ketebalan buku. :D
Menjual buku untuk bertahan
hidup? Apakah tedengar menyedihkan. Menurut saya iya. Apalagi buku-buku
tersebut saya kategorikan buku langka. Saat saya mau membeli kembali buku
tersebut, teman saya menolak. “Buat kenang-kenangan dari kamu,”alasannya.
Yah,
begitulah. Sama-sama pecinta buku memang susah untuk melepas buku. Sampai saat
ini saya belum bisa mengganti buku-buku tersebut.
Lalu apa penyesalan pertama?
Penyesalan pertama agak rumit untuk saya ceritakan. Saya menyadari bahwa memang
penyesalan terbesar itu bukan tentang apa yang telah dilakukan, tapi tentang
apa yang tidak dilakukan.
Omong-omong, apa penyesalan hidupmu?
No comments:
Post a Comment