Benarkah melarikan diri bukan tindakan seorang ksatria?
Ah, kukira tidak begitu. Aku berani bertaruh setiap orang pasti pernah melarikan diri dari sesuatu. Dan sesuatu itu bisa apa saja: Pekerjaan yang tak ada habisnya, hubungan yang entah kenapa, bos yang menekan, hutang yang mencekik, atau apa saja. Kau bisa menulis “apa saja" untuk hal yang sangat banyak macamnya, kan?
Kukira, terkadang kita memang butuh waktu, butuh jarak, sampai kita siap berhadapan dengan masalah. Dan sebelum kau benar-benar siap berhadapan dengan masalah, kau boleh melarikan diri. Mungkin sebab itulah jurus bela diri yang paling sakti adalah jurus langkah seribu, alias ilmu melarikan diri.
Karena melarikan diri itulah, aku sekarang terdampar di sini. Sejak bertemu dengan perempuan blues di kafe ini, aku selalu menghabiskan Jumat malamku di sini. Di sebuah kafe di pinggiran Jakarta. Menikmati kopi hitam dan mendengarkan blues sambil menunggu perempuan bues datang yang biasanya duduk tak jauh dari mejaku.
Kau tentu bisa punya cara lain untuk melarikan diri. Sendirian menonton film di bioskop, membaca buku di taman, memanjakan diri di hotel, liburan ke pantai, pergi ke tempat dugem atau apa saja. Sesuatu yang bisa membuat hatimu merasa lebih lega. Ini soal selera dan aku takkan protes.
Seperti biasa, malam ini aku duduk di tempat agak terpinggirkan. Cukup jauh dari panggung. Aku suka tempat ini karena berjarak dengan kerumunan. Karena itulah tujuanku datang ke sini: melarikan diri.
Di depan sana, seorang pemain gitar beraksi di atas stage kecil. Ia selalu memesonaku. Terutama saat sang vokalis memainkan lagu-lagu penuh rasa menyayat. Seperti senyuman perempuan blues.
Soal perempuan blues, aku berpikir ia seperti perempuan cantik yang ada di manapun. Seperti dalam film, ia hadir di berbagai macam setting tempat: kota, desa, istana, hutan, bahkan penjara sekalipun. Tapi sayang, ia selalu tak terjangkau oleh penonton. Sedalam apapun kau mengetahui kisah hidupnya, ia tetap tak terjangkau.
Pun malam itu. Aku tak pernah berniat mengubah statusku dari seorang penonton menjadi seorang pemain sampai ia tersenyum padaku saat menuju tempat duduknya. Aku masih tak yakin, namun spontan saja mulutku bicara.
"Kau terlihat cantik?," kataku saat perempuan blues hendak duduk di tempat biasa.
Ia menengok, berterima kasih lalu tersenyum. gerak-geriknya sungguh enang. Setenang telaga. ia lalu pindah ke mejaku. Senyumnya masih saja ditebar. Senyum manis yang bisa membuat seluruh penghuni ruangan menjadi tentram. Memesona, seperti lantunan blues.
Aku tak tahu keberanian dari mana hingga aku menyapanya. Padahal, 3 bulan bertemu tak pernah ada dialog.”Sudah punya pacar?,” kataku lagi.
”Belum,” jawabnya, lugas.
”Kenapa?”
”Karena belum saja.”
”Perempuan cantik sepertimu harusnya mudah mendapatkan pacar,” kejarku.
”Mungkin karena itu.”
”Heh?” terus terang aku sedikit kaget dengan jawabannya.
”Aku tak tertarik membalikkan tangan,” lanjutnya. Menjawab keherananku.
”Jadi, kamu tak percaya lelaki yang mendekatimu?”
"Maksudnya?" Ia balik bertanya.
”Kamu belum punya pacar karena tidak mempercayai satu pun lelaki yang mendekatimu?”
”Apakah harus?”
Ah, dunia.. ia malah balik bertanya. Ia ini lugu, bodoh atau apa??
”Cinta memerlukan kepercayaan. Itulah hukum percintaan yang diwariskan oleh Adam dan Hawa dulu,” kataku mencoba menjelaskan.
”Bagaimana caranya agar aku bisa mempercayai seseorang? Aku tak bisa menemukan alasan untuk mempercayai seseorang. Seorang laki-laki, maksudku,” jawabnya. Sengit.
”Kau hanya tinggal mempercayainya saja. Kadang kau tak butuh alasan untuk melakukan sesuatu.”
”Ahhh...,” keluhnya terdengar sinis di telingaku. Jawabanku tampaknya tak menarik baginya. Ia menghela nafas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
”Aku mengenal perempuan-perempuan sepertimu,” kataku memulai percakapan kembali setelah cukup lama terdiam.
Ia mengerenyitkan dahi seakan minta penjelasan lebih jauh.
"Perempuan sepertimu," kataku, "perempuan mandiri yang biasanya meremehkan lelaki. Tapi aku tahu lelaki yang cocok untukmu. Kau cocok menikah dengan seorang pengusaha."
Ia hendak menjawab namun tiba-tiba hapenya bergetar lirih. Ia lalu mengetik sesuatu di smartphonenya. Tak lama seorang lelaki berdiri di mulut pintu.
”Aku harus pergi sekarang. Sampai ketemu lagi,” katanya.
Ia melangkah pergi dengan anggun tanpa menengok sekali ke arahku. Perempuan blues pergi dengan hanya menyisakan aroma parfum yang menusuk dadaku.
No comments:
Post a Comment