Merayakan ide, makna, rasa dalam bahasa. Sebelum terperangkap dalam ketidaktahuan dan ketidakmampuan mengungkap.
26 November 2008
Langit
Langit, bauran awan bergugus, warna tersapu tanpa mengganggu. Di awal hari atau di ujung senja. Merah aprikot, indigo, putih, biru yang sebiru-birunya, atau yang manapun. Sekedar menatapnya, sekejap atau lekat, dan padanya serahkan lelah yang memeluk diri.
Langit, di mana pandang tak terhalang. Tak ada tiang, tak ada atap dan sekat. Tak berbatas. Umum yang luas namun tetap privat. Bulan, mentari, bintang, berganti menghias. Harapan masa depan, rahasia yang tak tersingkap. Saksi segala catatan peradaban.
Langit, gantungan harapan dan cita-cita. Carik kenyataan diam-diam berhenti menyelimuti. Sekedar merindu mimpi selanjutnya. Mendung datang menghalang pandang. Bisik tugas dalam benak menyeruak memeluk. Aku melangkah pergi.
Malang, November 2008.
Saat langit biru yang sebiru-birunya menjadi langka.
25 November 2008
Fitnah
kebenarannya dipenggal dari cerita
Kejujurannya dirampas pada kata.
Stigma menghapus fakta
seribu dusta menyatu pada tiap aksara.
hanya bala yang terpasang pada kata
yang menjadi seribu gada
yang menghantam raga.
hanya bencana yang datang bersama cerita
untuk menoreh seribu luka
pada dasar jiwa.
kau, kata sarat dusta,
cerita penuh bisa,
yang menyapaku di tikungan jalan.
Tapi, tak sudi aku menjawab
apa yang berawal dari hati pemakan bangkai.
Malang, November 2008
Kejujurannya dirampas pada kata.
Stigma menghapus fakta
seribu dusta menyatu pada tiap aksara.
hanya bala yang terpasang pada kata
yang menjadi seribu gada
yang menghantam raga.
hanya bencana yang datang bersama cerita
untuk menoreh seribu luka
pada dasar jiwa.
kau, kata sarat dusta,
cerita penuh bisa,
yang menyapaku di tikungan jalan.
Tapi, tak sudi aku menjawab
apa yang berawal dari hati pemakan bangkai.
Malang, November 2008
22 November 2008
bahasa Suroboyoan...
bagaimana bahasa Suroboyoan dalam prespektif budaya Jawa?
Beberapa hari yang lalu, saya diberi dua buah film indie pendek oleh seorang teman. Satu berjudul ‘Grammar Suroboyo’ dan satu lagi berjudul ‘Bahasa Suroboyoan’. Kedua film tersebut di produksi oleh Si Ikin, nama dari sebuah komunitas anak muda Surabaya (begitu katanya). Film yang berdurasi tidak lebih dari delapan menit tersebut bercerita tentang percakapan antara dua orang yaitu Suro (ikan hiu) dan Boyo (buaya). Dalam percakapan tersebutlah disisipkan bahasa Suroboyoan. Sebuah bahasa yang kontennya (jika di daerah lain, Malang misalnya) adalah kata-kata yang diperuntukan untuk (maaf) mis*h, marah-marah dan serapah.
Dari judul film tersebut, mungkin dalam hati Anda akan bertanya : “Apakah benar orang Surabaya semua memakai ‘grammar Suroboyoan’ yang diperlihatkan dalam dialog film si Ikin tersebut?” Saya tidak tahu. Mungkin mereka benar orang Surabaya dan benar-benar menggunakan ‘grammar Suroboyoan’. Tapi Andapun tahu, banyak orang Suroboyo tidak menggunakan ‘grammar Suroboyoan’.
Tapi masalahnya tidak sampai disitu. Walaupun tidak semua orang Suroboyo menggunakan grammar Suroboyoan, adanya film tersebut jelas menunjukkan adanya eksistensi dari pengguna bahasa Suroboyoan tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan ‘bahasa Suroboyoan’ dengan budaya induknya atau bahasa Jawa? Apakah pengguna ‘bahasa Suraboyoan’ dalam hal ini bisa disebut Jawa? Lalu dalam konteks apa seseorang itu di sebut Jawa?
Bagi masyarakt pasca-pertanian, masyarakat yang masih menganggap hirarki sosial sebagai pranata sosial, kerukunan dan keharmonian adalah sesuatu yang sangat penting. Maka, bahasa yang berkembang dan dikembangkan adalah bahasa antara lain untuk menjaga sistem nilai serta memperkukuh nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu bahasa yang dianggap cenderung merusakkan kerukunan dan harmoni akan dihindari dan dicegah.
Sayangnya nilai kerukunan dan harmoni yang begitu sentral dalam sistem budaya tersebut ternyata telah menciptakan berbagai sikap yang khas dalam masyarakat. Ia –secara tidak langsung maupun lansung telah menciptakan “budaya malu”, “budaya rikuh”, “segan” atau mungkin juga budaya “enggan”- Ia mendorong tumbuhnya keengganan untuk berkonfrontasi langsung atau memulai suatu konflik. Ia menganjurkan lebih baik menghindari pertengkaran daripada menyambutnya. Ia akan menekankan pada sikap peka terhadap kemungkinan munculnya rasa tersinggung pada orang lain.
Maka (yang saya tahu), orang Jawa sudah dianggap ‘jowo’ apabila telah memiliki kepekaan dalam konteks tersebut. Ukuran ‘halus’, ‘beradab’ dan ‘tahu adat’ sangat ditentukan oleh kepekaan penguasaan jurus kepekaan tersebut. Maka bahasa yang hadir adalah sebuah bahasa pergaulan yang penuh ungkapan pelembut. Walaupun dengan tujuan mengkritik, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang semu, bahasa sindir, dan bahasa yang berbunga-bunga. Dan dalam konbteks ini bahasa Suroboyoan tidak mendapat tempat karena sifatnya yang terus terang dan apa adanya serta (diselingi) ‘misuhan’.
Lalu, dari itu semua, di mana ‘Bahasa Suroboyoan’ ini ditempatkan? Masih bisakah disamakan dengan bahasa Jawa? Atau justru ‘grammar Suroboyoan’ adalah antitesis dari bahasa Jawa?
Entahlah...
Yang jelas saya tidak berani untuk menggunakan bahasa-bahasa yang ada dalam film pendek tersebut atau ‘grammar Suroboyoan’. Apalagi ketika hidup dalam lingkungan budaya di mana gestur terkecil pun punya muatan tata krama.
Lalu apa yang diinginkan oleh anak-anak Suroboyoan tersebut? Apa yang bisa dilihat dan dapat diambil dari film buatan si ikin tersebut?
Lagi-lagi entahlah...
Bahasa emang punya aturan gramatik, ‘mood’ dan ‘feeling’ nya sendiri-sendiri sehingga menggunakan bahasa yang ‘bebas’ dalam sebuah masyarakat tidak selalu bisa dibenarkan. Atau justru barangkali ini adalah langkah awal dalam mencari dan merumuskan bahasa baru yang tidak terlalu bergantung pada konteks nilai keselarasan hirarkis. Suatu bahasa yang cukup sopan, elegan, tanpa harus merunduk-runduk kebawah dan sering mendongak ke atas.
Ah...Entahlah?
Tapi barangkali, mungkin konteks orientasi budayanya yang bisa dipetik dari film tersebut. Bahwa ia menawarkan hidup dalam sebuah masyarakat egaliter dan sistem yang sangat terbuka. Masyarakat yang sama hak dan sama derajat yang dilihat dengan penggunaan bahasanya dalam percakapannya.
Ah.....Entahlah... Kang Mas, Mbakyu...
Ini semua hanya memaksa saya untuk terus belajar lagi hidup di sebuah budaya dengan tradisi, cara hidup, yang padat dengan tata krama dan petatah-petitih ini.
20 November 2008
August Rush
Dihadapan para jenius kita selalu terkagum-kagum. Terheran-heran. Takjub bagaimana alam bekerja terhadap para jenius. Desir angin, rintik hujan, riuh jalan raya, hening alam raya, ternyata mampu menjadi sumber inspirasi dalam pekerjaan sang jenius. Bagaimana riuh-ramai jalan raya dapat di-orkestra-i menjadi sebuah alunan musik yang mengagumkan. Hebat? Sangat.
Itulah kesan yang kuat yang saya dapat saat saya nonton film August Rush. Film yang mengisahkan perjalanan seorang anak, Evan Taylor, dalam mencari kedua orang tuannya lewat alunan musik.
Kuat dan mengharukan… sang pemeran utama mampu menampilkan akting yang menawan. Bagaimana perasaan penonton –saya- diaduk-aduk tak karuan selama film berjalan. Di buat menahan nafas- berlama-lama. kita serasa terus akan selalu bertanya bagaimana kisah ini akan berakhir...
Sayang, ending film ini kurang sedikiiiitttt lagi. Sutradara sepertinya menahan untuk tidak menampilkan kegembiraan yang meluap-luap di akhir cerita.
Dari semua itu bagus. I’m like it.
15 November 2008
Segenggam Cinta dari Anis Matta
Perasaan apa yang melanda para pecinta ketika cinta menyapa? Dari mana cinta datang dan kemana cinta menghilang? Apa cinta itu? Sepertinya pertanyaan seputar cinta tak akan pernah habis dan selesai. Manusia memang bisa bertanya, tapi sepertinya manusia tak akan pernah menemukan definisi yang paling pas, yang paling tepat dan paling seksama. Pasti selalu ada yang lemah, dan tidak setara, dalam setiap definisinya tentang cinta. Ada yang tak sepenuhnya bisa ia ungkapkan ketika berbicara cinta. Sebab itu mungkin manusia membuat media-media abstrak: puisi, alegori, lagu, lukisan, mitos, untuk menggambarkan cinta, untuk menggambarkan seluruh fenomena emosi dan stimultan yang tengah mereka rasakan, namun tak sepenuhnya juga bisa diungkapkan.
Mungkin dari keterbatasan pemahaman manusia tentang cinta itulah sebuah tulisan pendek hadir tiap dwi mingguan selama tiga tahun, di sebuah majalah. Hanya satu halaman namun begitu dinanti-nanti oleh para pembaca setia majalah tersebut. Kolom, yang diasuh oleh stamina satu orang tersebut hadir dengan sebuah gayanya yang khas.
Lalu apa sebenarnya yang diinginkan Anis Matta, sang penulis, seorang da’i, seorang politikus terkemuka, dengan tulisan-tulisannya tersebut?
Satu hal yang jelas, Anis hadir kepada sidang pembaca dengan menawarkan sebuah jalan alternatif. Sebuah wacana, sebuah ide, sebuah gagasan baru tentang topik perbincangan yang tak selesai-selesai selama berabad-abad itu. Mungkin tidak semuanya baru tapi Anis mampu mengemas dan menampilkannya menjadi sesuatu yang segar dan pembaca ‘dipaksa’ untuk merenungkannya. Sehingga setiap tulisan dalam Serial Cinta adalah sebuah cerminan pendekatan terhadap ide besar. Kesederhanaannya bercerita, limpah perhatiannya pada detil dan hal kecil dari kehidupan tentang pengelolaan cinta tersebar ditiap tulisannya, spontan dan konsisten memberikan kearifan dalam memandang fenomena cinta, menjadi gagasan tiap-tiap tulisannya.
Maka tulisannya mencerminkan sebuah kekuatan dalam kelembutan –sebuah gaya yang jarang ditemukan dalam penulisan sebuah kolom di majalah-majalah lain. Tabur metafora yang menghiasi tiap tulisan, kata putik yang lincah namun tetap terkendali, kombinasi antara kata kutipan dan kisah yang serasi, semua meluncur dari jemarinya. Semuanya dapat menunjukkan bagaimana Anis serius dan intens dalam memberi daya gugah dalam tiap tulisannya sekaligus menunjukkan kehadirannya ketika berhadapan dan ‘mengobrol’ dengan para pembacanya.
Lalu dari mana Anis mendapatkan daya gugah sebesar itu? Semua itu memang bisa dilihat sebagai kelihaian menulis dan keahlian menyampaikan gagasan. Tapi tampaknya bukan hanya itu yang menjadi kekuatan dalam tiap tulisannya. Jika konsepsi adalah sebuah pondasi di mana sebuah tulisan akan dibangun, maka dapat dipandang konsepsi Anis adalah konsepsi yang sudah matang dan selesai.
Oleh karena itu di dalam 73 tulisannya, kita tidak bisa mendeteksi Anis bicara tentang, atau merekam, kejadian dalam kehidupan pribadinya. Ia tidak menjadi topik utama atau menjadi lakon utama dalam tulisannya. Anis tampak telah lepas dari masalah-masalah pribadinya. Ia sudah tidak terjebak dalam pertanyaan kegelisahan atau pencarian-pencarian dalam misteri, yang justru biasanya terjadi ketika seseorang menulis tema cinta, melainkan Anis datang ke dalam kehidupan dengan tulisannya untuk memberikan penjelasan atau bahkan jawaban.
Setidaknya, ia menyampaikan apa yang bisa dan seharusnya ada ketika orang bicara dan mengelola cinta. Ia dengan kearifannya, seperti seorang guru, mengajari atau tidak, agar pikiran-pikirannya didengarkan dan direnungkan. Sehingga dalam membaca tiap tulisannya pembaca tidak dibawa larut keseluruhan dalam obrolan cinta yang tanpa ujung dan tak habis karena rasa terbawa romansa. Tapi di hadapan tulisan Anis akal kita disiapkan agar tetap terjaga walaupun rasa sedang berkelana.
Makanya dalam buku Serial Cinta, kita dapat melihat penuturan baru ketika berbicara cinta: sang penulis membedah fenomena cinta menjadi pecahan kecil-kecil, dianalisa, dideskripsikan lantas dikategorisasi yang semuanya menyebar dalam tiap tulisannya. Tapi dalam proses tersebut ia tidak terjebak dalam bahasa teknis dan narasi yang berbelit dan bercabang. Malah sebaliknya, Anis menuliskannya dengan apik dan penuh puitik. Melankolik tanpa jadi dramatik. Ia mampu memaparkan gagasan-gagasannya dengan cukup lengkap, menyentuh berbagai dimensi, serta sistematis dan tertib.
Tentu saja dalam penyampaian gagasannya Anis telah siap dengan catatan sejarah yang valid dan kutipan-kutipan serta kisah untuk menguatkan argumentasinya. Barangkali itu yang memang harus diyakinkan untuk mengguncang persepsi dominasi yang ada saat ini. Terutama untuk meyakinkah bahwa ‘suatu hal’ itu pernah terjadi di dunia di masa lalu dan ‘suatu hal’ tersebut masih mungkin untuk diulang hari ini.
***
Hal yang tampak kurang menarik dari Serial Cinta adalah penggunaan judul buku yang terasa kurang menggugah dilanjutkan dengan penjelasan judul yang terlalu mendramatisir. Sedangkan gambar sampul serta tata letaknya sepertinya tidak terlalu mendapatkan perhatikan yang serius dalam penggarapannya. Sehingga –bagi yang tidak pernah mengenal kolom Anis Matta- tampak terkesan isinya main-main terlebih bila disandingkan dengan judulnya yang terlalu mendramatisir.
Namun dari semua itu buku Serial Cinta tetap berharga untuk menjadi tambahan referensi bagi siapa saja yang ingin lebih memahami tentang cinta dan ingin melihat cinta dalam warna yang berbeda. Anis memang telah menambah segenggam pasir pemahaman yang diambil dari bentangan gurun cinta. dan meskipun kita bertambah pengetahuan toh kita tetap sulit mendefinisikannya kembali tentang cinta.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh penulis dalam cinta tanpa definisi-nya. bahwa cinta tak perlu definisi:
Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari sebuah kekuatan tak terkira. (tapi) Ia jelas, sejelas matahari.
* Penikmat buku, Mahasiswa Universitas Brawijaya.
12 November 2008
Sarjana
Dunia akademis, menurutku, tak lebih dari satu permainan besar dengan peraturannya sendiri. Contohnya seperti pencapaian seorang mahasiswa dalam memperoleh gelar Sarjana di sebuah universitas, tak lebih dari mengikuti sebuah permainan dengan terus mematuhi semua peraturannya.
Dalam pencapaian gelar sarjana seorang mahasiswa harus diukur melalui satu set kriteria, salah satunya yaitu ikut andil dalam mempublikasikan karya ilmiah atau skripsi. Ada berbagai aspek dari karya ilmiah tersebut yang ditimang sebagai kriteria layak atau tidaknya menjadi bagian integral dunia akademik, antara lain adalah orisinalitas.
Dalam proses menghasilkan karya tersebut, seorang mahasiswa tak ubahnya seorang wiraswasta. Ia menghadapi ketidakpastian yang sama dengan seorang pebisnis. Ini saya berani bilang karena pengalaman dan pengamatan dalam melakukan penelitian di lapangan maupun di laboratorium
Seorang teman yang bekerja di lab mengeluhkan ternyata bekerja di lab tidak lebih mudah dengan bekerja di lapangan.Walaupun ada seribu satu hal yang mungkin bisa dikondisikan tapi ia juga menyimpan ironinya : bahwa ada seribu satu hal kemungkinan yang berjalan tidak sesuai dengan perkiraan. Apalagi mereka yang bekerja dengan ikan dan bakteri (khususnya bidang di natural science-lah). Saat eksekusi eksperimen, saat di mana data ditambang dan dihasilkan, adalah tahap paling mengerikan dari keseluruhan proyek. Data generating itu luamaaaaaaa pool.. dan mbosenin (begitu keluh teman saya) . Masalah sebar benih, rekam pertumbuhan, koleksi bakteri (yang ga mudah dan ga murah)... kerja berjam-jam berbulan-bulan hanya demi seruas data di tabel yang tak lebih dari dua halaman.
Sebenarnya tak jauh berbeda dengan mereka yang bekerja di lapangan, mondar-mandir sana-sini, ikut ngerusuhi dengan praktisi, wawancara ini itu, survey sana survey sini (menjadi pekerja sekaligus pelancong). walaupun tidak banyak hal yang bisa dikondisikan namun bagi pekerja lapangan ada satu kelonggaran dalam hasil laporan: margin kesalahannya tidak seketat mereka yang meneliti di lab.
Oleh sebab itu, tiap kali kita melihat satu hasil pekerjaan ilmiah yang berhasil sebenarnya kita tengah menatap satu senyawa antara ikhtiar untuk tidak berhenti dan serendipity, kebetulan yang manis. Oleh karena itu jika ada ada karya penelitian (ilmiah) yang berhasil dihasilkan seseorang, bisa dijadikan sebuah ukuran sebagai betapa uletnya orang tersebut bekerja (di sisi lain, betapa beruntungnya ia...) .
Tahap berikutnya yang ga kalah serius adalah menulis laporan dan artikel hasil penelitian. Dan inilah palang uji terakhir buat seorang calon sarjana. Mirip sebuah ritus seorang anak untuk diakui sebagai orang yang dewasa. Di sinilah seorang calon sarjana menyerahkan hasil laporannya untuk ditelaah, diperiksa oleh ‘orang dewasa’ di kultur akademik. Jika hasil jerih lelahnya dianggap cukup layak untuk mampir di ruang baca pekerja akademik lain, ia lulus, ia dilihat sebagai bagian integral dari dunia akademik. Jika tidak...
Mohon do’a nya.
Semoga berhasil dalam melewati palang uji terakhir.
Dalam pencapaian gelar sarjana seorang mahasiswa harus diukur melalui satu set kriteria, salah satunya yaitu ikut andil dalam mempublikasikan karya ilmiah atau skripsi. Ada berbagai aspek dari karya ilmiah tersebut yang ditimang sebagai kriteria layak atau tidaknya menjadi bagian integral dunia akademik, antara lain adalah orisinalitas.
Dalam proses menghasilkan karya tersebut, seorang mahasiswa tak ubahnya seorang wiraswasta. Ia menghadapi ketidakpastian yang sama dengan seorang pebisnis. Ini saya berani bilang karena pengalaman dan pengamatan dalam melakukan penelitian di lapangan maupun di laboratorium
Seorang teman yang bekerja di lab mengeluhkan ternyata bekerja di lab tidak lebih mudah dengan bekerja di lapangan.Walaupun ada seribu satu hal yang mungkin bisa dikondisikan tapi ia juga menyimpan ironinya : bahwa ada seribu satu hal kemungkinan yang berjalan tidak sesuai dengan perkiraan. Apalagi mereka yang bekerja dengan ikan dan bakteri (khususnya bidang di natural science-lah). Saat eksekusi eksperimen, saat di mana data ditambang dan dihasilkan, adalah tahap paling mengerikan dari keseluruhan proyek. Data generating itu luamaaaaaaa pool.. dan mbosenin (begitu keluh teman saya) . Masalah sebar benih, rekam pertumbuhan, koleksi bakteri (yang ga mudah dan ga murah)... kerja berjam-jam berbulan-bulan hanya demi seruas data di tabel yang tak lebih dari dua halaman.
Sebenarnya tak jauh berbeda dengan mereka yang bekerja di lapangan, mondar-mandir sana-sini, ikut ngerusuhi dengan praktisi, wawancara ini itu, survey sana survey sini (menjadi pekerja sekaligus pelancong). walaupun tidak banyak hal yang bisa dikondisikan namun bagi pekerja lapangan ada satu kelonggaran dalam hasil laporan: margin kesalahannya tidak seketat mereka yang meneliti di lab.
Oleh sebab itu, tiap kali kita melihat satu hasil pekerjaan ilmiah yang berhasil sebenarnya kita tengah menatap satu senyawa antara ikhtiar untuk tidak berhenti dan serendipity, kebetulan yang manis. Oleh karena itu jika ada ada karya penelitian (ilmiah) yang berhasil dihasilkan seseorang, bisa dijadikan sebuah ukuran sebagai betapa uletnya orang tersebut bekerja (di sisi lain, betapa beruntungnya ia...) .
Tahap berikutnya yang ga kalah serius adalah menulis laporan dan artikel hasil penelitian. Dan inilah palang uji terakhir buat seorang calon sarjana. Mirip sebuah ritus seorang anak untuk diakui sebagai orang yang dewasa. Di sinilah seorang calon sarjana menyerahkan hasil laporannya untuk ditelaah, diperiksa oleh ‘orang dewasa’ di kultur akademik. Jika hasil jerih lelahnya dianggap cukup layak untuk mampir di ruang baca pekerja akademik lain, ia lulus, ia dilihat sebagai bagian integral dari dunia akademik. Jika tidak...
Mohon do’a nya.
Semoga berhasil dalam melewati palang uji terakhir.
Cecak merayap
Cecak merayap di dinding ruang tamu berwarna biru
melihat nyamuk terbang kehilangan arah
sejenak berhenti merayap untuk mnegintai
di dinding ruang tamu berwarna biru.
Lumayan untuk makan malam pikir cecak.
nyamuk hinggap di dinding ruang tamu berwarna biru
rehat sejenak berhenti terbang
lupa sedang apa ia disini
di dinding ruang tamu berwarna biru itu
O, hendak cari makan teringat ia.
Sekejap ia merentangkan sayap hendak terbang
Sayang cecak sudah di hadapan.
Sukabumi 2007
melihat nyamuk terbang kehilangan arah
sejenak berhenti merayap untuk mnegintai
di dinding ruang tamu berwarna biru.
Lumayan untuk makan malam pikir cecak.
nyamuk hinggap di dinding ruang tamu berwarna biru
rehat sejenak berhenti terbang
lupa sedang apa ia disini
di dinding ruang tamu berwarna biru itu
O, hendak cari makan teringat ia.
Sekejap ia merentangkan sayap hendak terbang
Sayang cecak sudah di hadapan.
Sukabumi 2007
05 November 2008
kami putra-putri Indonesia...
Kita tak pernah tahu perasaan apa yang membadai dalam dada pemuda-pemudi itu. Apa yang berkecamuk dalam kepala mereka. Ketika pada akhirnya mereka harus mengucap ikrar. Bersumpah setia pada sebuah nama yang belum nyata. Sebuah nama yang hanya ada dalam benak mereka. Berjanji setia pada sebuah wacana, wacana yang juga belum selesai : Indonesia
Kita mungkin hanya dapat membayangkan mereka dari berbagai organisasi pemuda daerah, mungkin tak semuanya dikenal, berhimpun di sebuah gedung, yang tak terlalu besar, dengan penjagaan ketat tentara Belanda. Acara dibuka. Lalu beberapa pemuda maju ke mimbar bergantian memberikan orasi, selama dua hari sebelum diakhiri dengan sebuah permainan biola dari W.R. Supratman yang membawakan Lagu Indonesia raya...
Tapi kita mungkin tak pernah tahu persis, suasana apa yang melahirkannya. Ketika teks itu dirumuskan lalu disusun kata perkata. Kalimat per kalimat. Kekalahan yang dibalut harapankah? Sebuah optimismekah? Persiapan perlawanankah? Kita tak tahu persisis. Sama seperti kita tak pernah tahu apakah pemuda pemudi itu tak pernah bertanya apa Indonesia itu? Mana batasannya? Yang mana bahasa Indonesia itu?
Tak ada tanya ataukah memang tak ada jawab? Atau memang belum perlu ada jawab.
Sungguh kita tak tahu saat teks itu terumuskan. Bergetarkah tangan yang menuliskannya? Takzimkah mereka ketika berucap Indonesia? Bergemuruhkah dada mereka kita berucap 'Bangsa Indonesia'? Kita tak tahu. Hanya mereka yang diberi keistimewaan oleh sejarah untuk merasakannya.
Mungkin tak ada seorangpun yang bisa menjelaskan kepada kita apa, siapa yang menggerakkan roda nasionalisme -yang kata Soekarno disebut sebuah keinsyafan rakyat untuk satu bangsa - itu. Soegondo kah? Moh. Yamin kah? Ataukah sebenarnya justru mereka sendiri?
Kita hanya bisa melihat sebuah teks yang lurus. Ringkas. Tapi keras. Sekeras granit “...Bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia”.
Teks bersejarah itupun sampai kepada kita terlalu dini, bahkan sebelum duduk di bangku SMP. Pendek. Hanya tiga baris. Satu ideologi, satu kesatuan dan persatuan tentang Indonesia. Kita mengingatnya karena setiap tanggal 28 Oktober ada yang mencetak, ada yang membacakan kembali. Di upacara-upacara, Apel-apel.
Tapi sungguh kata-kata bisa direkam. Tulisan bisa dicetak kembali. Berulang-ulang. Berkali-kali. Tapi apakah emosi yang melatari dan menemani saat pemuda-pemudi itu mengucap sumpah bisa diulang kembali? Bisa dirasakan kembali oleh putra-putri Indonesia- kini. kalau tidak??
Lalu apakah itu berarti bahwa kita tidak akan mampu memahami kecintaan, kerinduan, harapan, dan kepemilikan akan sebuah nama seperti yang dirasakan pemuda-pemudi saat itu?
Tentu tidak. Semoga tidak.
Atau entahlah..
Biarkan itu diserahkan kembali kepada Putra-putri Indonesia. Mereka yang akan lebih tahu untuk menentukan arti separagraf Sumpah itu.
Sekarang saya hanya bisa mencoba membacanya kembali, dengan lirih sahaja : “Kami Putra putri Indonesia...”
:: Mungkin nanti malam saya akan berdo'a : Ya Allah ingatkan terus bahwa hamba ini juga adalah orang Indonesia ::
24 Okt-03 Nov 2008
04 November 2008
di kursi kamar
Aku terduduk di kursi kamar. Melamun tapi tak ada kopi panas. Buku-buku masih menumpuk tak tertata di sana sini. Capek. Lelah. Penat. Hari yang berat, tapi untuk saat ini. Tenggat sudah semakin dekat. Komitmen untuk menyelesaikan laporan skripsi bulan ini sepertinya mustahil terlaksana. Terhenti lagi. Mundur lagi. Satu, dua…tiga model statistika masih bermain di benakku. t-test, Anova..., SPSS...
“...Lha..itu kan untuk membuktikan variable bahwa kedua variable yang diperbandingkan berbeda secara signifikan... trus..kalau tak ada bukti aritmatik yang bisa ditampilkan... Lha kalau yang satunya itu.. Kalau parameter yang itu gak bisa di apa-apain lagi. Yah... ehmm...mungkin ga usah pakai t-test atau Anova, pakai SPSS saja kali ya biar cepet... atau mungkin..jelas pakai Anova, data untuk tiap daerahkan dianggap sama...aduh kalau gini pasti ujung-ujungnya ada uji BNT? Kalau ga salah yang seperti ini pernah baca deh? di laporannya siapa ya? Di mana yah... atau yang tadi di perpus ya.. Perasaan dulu nilai statistik sama Metil ga jelek-jelek amat deh.. ko sekarang nge-blank gini ya..”
Hidungku mulai terasa buntu. Flu yang semenjak musim hujan ini mengintip sudah tak malu menampakkan diri. Hari akan memulai malam. Hujan rintik mulai jatuh pelan. Kejap berikutnya hujan deras menutup pandang. Malang memang mulai hujan.
Sore hari sembari diiringi hujan selalu bikin suasana berbeda. Aroma tanah yang menguap, bau hujan yang tercium, seperti mengizinkan untuk bermelom-melow...
akhir Oktober 2008
“...Lha..itu kan untuk membuktikan variable bahwa kedua variable yang diperbandingkan berbeda secara signifikan... trus..kalau tak ada bukti aritmatik yang bisa ditampilkan... Lha kalau yang satunya itu.. Kalau parameter yang itu gak bisa di apa-apain lagi. Yah... ehmm...mungkin ga usah pakai t-test atau Anova, pakai SPSS saja kali ya biar cepet... atau mungkin..jelas pakai Anova, data untuk tiap daerahkan dianggap sama...aduh kalau gini pasti ujung-ujungnya ada uji BNT? Kalau ga salah yang seperti ini pernah baca deh? di laporannya siapa ya? Di mana yah... atau yang tadi di perpus ya.. Perasaan dulu nilai statistik sama Metil ga jelek-jelek amat deh.. ko sekarang nge-blank gini ya..”
Hidungku mulai terasa buntu. Flu yang semenjak musim hujan ini mengintip sudah tak malu menampakkan diri. Hari akan memulai malam. Hujan rintik mulai jatuh pelan. Kejap berikutnya hujan deras menutup pandang. Malang memang mulai hujan.
Sore hari sembari diiringi hujan selalu bikin suasana berbeda. Aroma tanah yang menguap, bau hujan yang tercium, seperti mengizinkan untuk bermelom-melow...
akhir Oktober 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)