Seorang karyawan pabrik sepatu bertanya pada
saya, kenapa selama bertahun-tahun ia bekerja banting tulang, hidupnya tak
kunjung membaik.
Saya, juga anda, mungkin akan kebingungan menjawab
pertanyaan tersebut. Tapi tidak untuk para juragan. Seperti para motivator, seorang
juragan terlatih untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan macam di atas.
Para juragan pasti akan menjawab dengan
jawaban yang terdengar melegakan, “sabarlah, dan tetap fokus untuk terus kerja,
kerja, dan kerja.”
Yah, begitulah ajaran para juragan. Segala jawaban
telah dikondisikan agar dalam batok kepala para buruh, yang harus bangun sedari
subuh dan kemudian kerja 8 jam sehari, tak terbersit pertanyaan yang aneh-aneh.
Agar mereka tetap bisa “positif thingking”.
Akan sangat berbahaya jika dalam kepala
buruh terbersit pertanyaan yang aneh-aneh. Mempertanyakan dari mana para
juragan memperoleh gaya hidup yang jetset, yang bisa mempraktekkan ajaran
majalah-majalah gaya hidup seperti bersantap di kafe mewah, makan di restoran
mahal, mengoleksi apartemen atau pelesiran ke luar negeri, misalnya.
Begitulah, kibul, berita, petuah, hiburan dicampur
aduk dan ditebar di sekitar kita untuk menjaga motivasi para buruh. Sebab sekali
motivasi bekerja buruh hilang, gantinya hanya pemogokkan massal menuntut
kenaikkan upah. Kalau tetap menuntut, maka dinaikkanlah upah sedikit-sedikit. Tak
bisa sembarangan, sebab jarak ongkos produksi dengan harga pasaran tetap harus
tinggi.
“Gaji tak bisa sama rata. Gaji diberikan sesuai
dengan tanggung jawab. Sampai sekarang karyawan sudah dibayar sesuai dengan
upah minimun,” kata juragan.
Ya, upah minimum. Kalau bisa minimumlah seterus-terunya.
Begitulah, nasib para pekerja yang
mengandalkan gaji. Nasib di negeri pat-gulipat memang seperti tidak ditakdirkan
oleh Tuhan, tapi ditentukan di meja-meja perundingan penguasa dan pengusaha.
Jadi apalagi yang menarik dari Hari Buruh
kemarin selain jalan barengnya? blokir jalannya? Panas-panasannya? Parkir bisnya?
Hari buruh memang dirayakan. Meriah,
begitulah. Bahkan difasilitasi. Pejabat, anggota DPR ikut turun ke jalan. Sesekali
olah raga tak apalah, begitu pikirnya.
Setelah itu, para buruh kembali pulang dengan
lesu kembali masuk roda hamster. Seperti kembang api yang diledakkan di langit
malam, meriah dalam ketersekejapan. Setelah itu langit kembali kelam dan kembang
api, meminjam istilah Goenawan Mohamad, jatuh menjadi arang yang getas. :p