29 December 2011

Gerimis Akhir Tahun

(1)

Aku suka gerimis. Gerimis membuat udara pengap di kolong jembatan menjadi lumayan. Tapi gerimis di malam Tahun Baru tak pernah membuatku senang. Hujan di malam Tahun Baru hanya membuat orang malas keluar. Tak ada pesta pora di jalanan. Artinya lagi tak ada yang bisa kupungut untuk menyambung hidup.

Gerimis dan angin makin pekat. Kurapatkan sarung yang membalut tubuhku. Dua tahun yang lalu, gerimis turun sama pekatnya, saat hendak kutinggalkan istriku ke Jakarta.

"Tunggulah sebentar. Nanti akan kulunasi semua hutang berobat anak kita," janjiku.
Kau tersenyum. Tapi kabut di matamu tak juga hilang. Malah menelanku di dalamnya.

Saat itu, kau mencoba menahanku sejenak. "Masih hujan, Mas," katamu. Kau berbalik hendak mengambil payung. Namun tersadar, itulah barang terakhir milikmu yang kau jual. Saat itu pula aku berjanji dalam hati, akan kubelikan kau payung baru saat pulang nanti.

Tapi, istriku, berapa janji yang tak bisa kupenuhi. Kau benar, sudah hampir dua tahun aku di ibu kota, tapi uang yang kukumpulkan masih juga tak seberapa. Menggelandang dan memulung hanya untuk tetap jadi manusia. Katamu, Jakarta menelan manusia. Kau benar, Jakarta menelan harapan.

Suara arak-arakan sesekali terdengar di atasku. Masih 4 jam ke penghujung tahun. Gerimis belum juga reda. Samar-samar suara terompet terdengar. Suara klakson bersahutan. Betapa meriah di luar sana. Gerimis membahasahi mataku lalu kurasa nyeri di dadaku.

(2)

Batu, Malang, Jawa Timur
31 Desember 2011

Sedari pagi hape bututku berbunyi terus. Di layar tertera sepuluh panggilan tak terjawab dari satu nama, Mami. Sialan, bila ada maunya, nyonya tua itu perhatian bukan main.

Satu pesan masuk dari nama yang sama: jangan sampai tak datang nanti malam. Akan ada banyak tamu. Banyak yang minta ditemenin.

Ah, aku ingin perei saja malam ini. Mami harusnya tahu, aku tak suka suara terompet. Ia mengingatkan pada suamiku. Pada kehilangan-kehilangan yang kualami. Aku ingin istirahat malam ini. Menemani anakku. Tadi siang, anakku meminta jagung bakar yang ada di alun-alun. Tapi, sungguh, sudah tak ada uang di kantong.

Uang. Mungkin benar kata Mami, nanti malam akan banyak orang berpesta. Lumayan, bisa menyambung hidup dan menambah buat beli obat anakku. Kata dokter, kartu miskin tak bisa buat beli obat anakku.

Langit gelap, gerimis mulai turun. Kutaburi wajahku dengan bedak murahan. Sayup-sayup, jalanan mulai riuh. Ya.. berangkatlah. Berpestalah. Aku tahu kau butuh hiburan. Sedang aku butuh uang. Mampirlah ke tempatku nanti..

Jam sepuluh hujan tak juga reda. Hape bututku berbunyi lagi. Kuabaikan. Mungkin Gusti Allah sedang marah padaku. Tapi bukankah ini Maha Penyayang juga Maha Mengerti??

Di ranjang kulihat anakku sudah tertidur nyenyak. Ah, wajahnya mirip betul dengan ayahnya. kubersihkan wajahku, lalu kudekap ia sampai aku tertidur.



_______________________

Selamat Tahun Baru, kawan.
Saya doakan semoga tahun depan menjadi lebih baik.

26 December 2011

Cara Mengetahui Seseorang Masih Mencintai Kita Atau Tidak

"Bagaimana mengetahui seseorang itu masih mencintai kita dan masih setia," tanya seorang remaja pada dirinya sendiri.

Berkali-kali pertanyaan itu diajukan dalam batok kepalanya. Namun tak pernah ia mendapatkan jawaban.

“Lihat matanya,” jawab sebuah suara suatu kali, di kamarnya. “Mata adalah jendela jiwa. Mata tak pernah berbohong, ia tulus. Bahkan pada mata yang buta sekalipun,” lanjut suara itu lagi.

“Adakah cara lain. Aku tak bisa dengan cara itu. Bahkan menatap matanya aku tak sanggup,” jawab si remaja. Suara itu tak menjawab. Lalu diabaikan jawaban dari suara yang entah dari mana itu.

Setiap hari, si remaja terbangun dengan pertanyaan yang sama dalam kepalanya. Setiap hari pertanyaan itu berputar dalam kepalanya. Sampai pada suatu malam, seorang lelaki rupawan meloncat keluar dari pikirannya. Si lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian kerajaan dengan mahkota indah, berdiri di hadapannya.

”Lupakan pertanyaan yang tak ada jawabannya itu. Akulah korban pertanyaan tersebut,” kata si lelaki yang tak lain adalah Sri Rama.

“Sudah lama manusia menayakan hal itu. Jika manusia bisa menjawab pertanyaan tersebut takkan kubiarkan Sinta melompat ke dalam kobaran api,” kata Rama.

“Pertanyaan tersebut sudah kuajukan ke Dewata, tak ada satupun yang menjawab.”

Ah, Rama yang kasihan, pikir si Remaja. Setelah berjuang mati-matian membebaskan Sinta dari sekapan Rahwana, ia hanya mendapatkan keraguan. Ia tak yakin apakah perempuan yang direbutnya adalah seorang yang setia?

“Itu karena egomu. Egomu menutup matamu,” tukas si remaja.

“Ah.. kau bocah ingusan, kau tak mengetahui rasanya mencintai yang sangat. Kau tak tahu rasanya menjadi aku.”

Lalu, tiba-tiba, meloncat lagi seseorang dari kepala si remaja. Kali ini perempuan cantik, dengan tubuhnya yang harum semerbak. Sang perempuan mengenakan kebaya dengan bahu terbuka. Dari dandanannya pastilah ia seorang permaisuri raja Jawa atau paling tidak ia pastilah seorang putri raja.

“Aku permaisuri. Akulah korban pertanyaan tersebut,” kata si permaisuri.

Samar-samar si remaja teringat legenda yang diceritakan gurunya dulu. Legenda dari daerah Jawa paling timur. Inilah mungkin permaisuri yang didakwa rajanya berselingkuh dengan seorang patih kerajaan.

“Iya, akulah permaisuri yang tidak dipercaya raja, lalu dititahkannya aku mengakhiri hidupku,” ucap si permaisuri.

Iya, tak salah lagi. Inilah legenda Banyuwangi, pikir si remaja. Sekarang ia bisa melihat detik-detik saat sang permasuri menenggak racun lalu menceburkan diri ke telaga. Masih teringat ia dialog terahhir legenda ini.

"Kakanda, jika nanti telaga ini berubah menjadi harum kau akan mengetahui bahwa aku masih setia dan mencintaimu. Kau akan menyesal karena tak memercayai cinta dan kesetiaanku,” ucap permaisuri.

“Jadi, bagaimana mengetahui seseorang itu masih mencintai kita dan masih setia," tanya si remaja pada permaisuri.

“Tidak. Kau tak layak mempertanyakan itu pada orang yang kau cintai.”

Si remaja tak puas dengan jawaban permaisuri. Lalu diusirnya Rama dan Permaisuri dari kamarnya.

Kamar sunyi kembali. Namun pertanyaan itu masih mendengung di telinganya. Bagaimana mengetahui seseorang masih mencintai kita dan masih setia? Kali ini, pertanyaannya hanya berputar di dalam tempurung kepalanya.

19 December 2011

Seekor Nyamuk Yang Merindu Tuannya

Seandainya tak ada seorang perempuanpun yang merindu padaku, aku sepertinya masih cukup beruntung. Setidaknya masih ada nyamuk betina yang setia menungguku pulang saat bekerja seharian.

Kau tak percaya, memang seperti itulah kenyataannya. Nyamuk-nyamuk di kamar kos-kosanku itu selalu setia menanti kedatanganku.
Buktinya, begitu aku membuka pintu kamar, mereka langsung menghambur ke arahku dan mencoba memelukku.

Aku menganggap hal itu sebagai ungkapan sambutan. Luapan rasa kangen setelah seharian kutinggal di kosan.

Nah, kau tau, sebelum menggigitku, mereka biasanya memutar di atas kepala atau bermanuver dekat telinga sehingga dengung sayapnya cukup terdengar olehku. Setelah itu, clep!! Moncong mereka menancap. Di wajah atau di lengan. Memberi kecupan.

Lihat, betapa rindu mereka padaku. Padahal aku sama sekali belum mandi. Badanku masih bercampur keringat. Tapi mereka tak peduli. Mereka lansung mengecupku.

Kadang aku merasa kasihan pada nyamuk-nyamuk di kamarku. Mereka pasti kesepian. Sejak pagi sudah aku tinggalkan mereka sendirian. Seharian pekerjaan mereka pasti hanya menungguku. Akulah mungkin satu-satunya sahabat dan sumber makanan mereka satu-satunya.

Beruntung, populasi mereka di kamarku sudah tak banyak. Mungkin cuma lima atau enam. Semakin ke sini populasi mereka terus berkurang karena kadang aku memburu mereka karena berani mengganggu saat aku membaca. Tapi anehnya mereka tak pernah punah.

Padahal kamarku sudah terlindung kawat nyamuk, sehingga mereka tak bisa masuk keluar kamar seenaknya. Perhitunganku, jika tidak ada tambahan nyamuk dari luar kamar, harusnya mereka sudah habis sedari berbulan yang lalu. Tapi mereka masih saja eksis meski aku terus memburunya.

Kalau dipikir, memang kasihan mereka. Hanya untuk bisa bertahan hidup mereka harus bertaruh nyawa.

Seharusnya kalau aku lebih tekun dan lebih lama memperhatikan mereka mungkin aku bisa belajar bahasa nyamuk seperti nabi Sulaiman mengerti bahasa semut. Lalu aku bisa bertanya apa maunya mereka.

Setelah mengerti keinginan mereka, aku mungkin tak akan memburu mereka asalkan jangan menggangguku saat membaca. Aku mungkin akan memberi kelonggaran: silahkan menggigitku asal saat aku terditur dan jangan sampai membuat gatal.

Malah, jika mereka pintar, mungkin aku akan mengajak mereka ngobrol. Mengobrol tentang dia, misalnya. Dia yang kadang terasa sangat dekat, akrab. Namun kadang terasa sangat jauh dan asing.

Saat dekat aku bisa seperti anak kecil di depannya. Berceloteh tentang apapun. Namun saat jauh, aku merasa seorang yang asing di hadapannya. Bahkan untuk mengatakan 'hai' pun aku tak berani. Setiap kali dia terasa jauh, selalu ada yang runtuh di hatiku.

Iya, mungkin seharusnya aku lebih sering memerhatikannya. Selalu menghubunginya. Tapi, ia seorang yang mandiri. Terus-terusan menghubunginya pasti akan mengganggunya. Entahlah.

Apakah perempuan memang seperti itu? Membingungkan? Atau cuma aku yang tak bisa memahaminya. Yah, mungkin seperti itu, aku belum mengenalnya. Bahkan sampai sekarang aku belum berani menatap matanya.

Ah, nyamuk. Kau mendengarku? Kau yang hinggap di kaos yang menggantung, kau pergilah ke tempatnya. Tolong jaga dia. Jangan sampai ada seekor nyamukpun yang menggigitnya.

Si nyamuk entah mengerti entah tidak, dia terbang keluar lewat celah pintu. Angin di luar bertiup tak henti-hentinya.

09 December 2011

Hercules dan Lelaki Yang Membakar Dirinya Sendiri



Hercules yang gagah perkasa akhirnya memilih menghabisi dirinya dengan membakar dirinya sendiri. Putra tersayang Zeus itu tak sanggup lagi menanggung penderitaan yang dialaminya.

Hercules tak menyangka jubah pengorbanan yang dikenakannya saat akan merayakan kemenangan, setelah menundukkan Eurystus, malah menjadi akhir dari petualangannya.

Racun dari darah Nessos pada jubahnya sungguh sangat mematikan. Setiap senti dari jubah yang dikenakan Hercules seperti menusukkan belati sampai ke sumsum tulangnya. Semakin kuat Hercules mencoba melepaskan jubahnya, semakin dalam cengkraman belati menghujam tubuhnya.

Hercules putus asa, lalu memilih hangus menjadi abu.

“Apakah lelaki yang ini juga membakar dirinya sendiri karena penderitaan yang sangat, Guru?” Sebuah suara merdu memotong Sang Guru saat sedang menceritakan akhir kisah Hercules.

Si pemilik suara merdu, seorang gadis kecil, bertanya sambil meyodorkan sobekan koran yang didapatnya dari alas donat yang dibelinya tadi pagi.

Sang Guru tak siap mendapat pertanyaan dari muridnya itu. Ia lalu membaca potongan koran yang disodorkan padanya:

Diduga Stress, Seorang Lelaki Membakar Diri Di Depan Istana.

“Iya, mungkin saja,” jawab sang Guru, ragu.

“Apa stress itu, Guru,” kembali si gadis bertanya. Kata ’stress’ sangat asing di usianya yang masih belia.

“Kenapa lelaki itu sebegitu berani membakar dirinya sendiri? Apakah dia tidak tahu api itu panas? Tidak tahukah manusia tidak meleleh saat dijilat api, tapi terbakar, Guru?”

Sang Guru mencoba mengendapkan pertanyaan murid kesayangannya itu.

“Apakah dia ingin meniru Ibrahim, Guru? Apakah dia ingin memanggil api yang dulu pernah memanggang Ibrahim namun api tak bisa menyentuh kulit Ibrahim. Apakah ia ingin Tuhan menciptakan api yang sejuk lagi, Guru?”

Pertanyan muridnya sudah seperti gugatan pikir Sang Guru.
“Mungkin ia seperti Hercules. Ia sangat menderita dan tak punya pilihan lain selain membakar dirinya,” jawab sang Guru.

“Kenapa kehidupan tak memberikan banyak pilihan bagi lelaki itu,” tanya Si Gadis.

“Bukan kehidupan, anakku,” ralat Sang Guru, “tapi penderitaan dan kemiskinan. Penderitaan dan kemiskinan memang tak menyediakan banyak pilihan. Banyak orang tak bisa menghadapi penderitaan dan kemiskinan. Terutama rasa lapar. Mungkin salah satunya si laki-laki itu.”

Si gadis kecil masih tak mengerti kenapa kemiskinan dan penderitaan bisa membuat lelaki itu menjadi gelap mata.

Bukankah gurunya pernah mengajarkan bahwa kemiskinan, juga penderitaan, adalah sebuah tempaan. Banyak sudah tokoh yang dulu diceritakan gurunya, tokoh yang begitu agung menghadapi penderitaan dan kemiskinan. Dari pada memilih jalan membakar diri seperti laki-laki yang entah siapa namanya itu.

Bukankah bunuh diri adalah dosa besar?

Pernah gurunya bercerita suatu kali tentang seorang pemimpin besar Iran, Imam Khomeini, yang ketika meninggal hanya mewariskan selembar tikar. Bukankah gurunya juga pernah berkisah tentang Siddharta Gautama memilih meninggalkan kemewahan istana dan hidup terlunta-lunta dijalanan.

Pikiran-pikiran itu mengganggu Si Gadis Kecil. Ia ingin menanyakan semua pertanyaan itu kepada gurunya. Namun gurunya terlihat termenung, larut dalam pikirannya.


Si Guru merasakan apa yang mengganggu pikiran muridnya.

“Ah, muridku,” pikir Sang Guru, “Khomeini dan Shiddarta tentu saja bukan bandingan si laki-laki yang mengguyurkan bensin ke sekujur badannya lalu membakar dirinya sendiri. Kemiskinan yang datang kepada Khomeini dan Siddharta bukan kemiskinan yang dipaksakan secara struktural. Melainkan kebersahajaan yang merupakan pilihan hidupnya.”

Ia ingin menceritakan semua itu pada muridnya. Tapi mungkin si Gadis Kecil belum mengerti. Belum mengerti bahwa di negerinya orang-orang di sergap kemiskinan dan penderitaan bahkan sebelum ia bisa menentukan pilihan hidupnya.

Sang Guru hanya mengusap rambut muridnya dan berjanji untuk mengajak si gadis kecil menengok si lelaki yang membakar diri di rumah sakit. Mungkin laki-laki itu bisa menjawab semua rasa penasarannya. Mungkin.

06 December 2011

Suatu Hari Bersama Ahmad Tohari

Apa yang tersisa dari sebuah pertemuan?

Beribu orang sudah kau temui, namun kadang tak menyisakan sedikitpun kelebatan dalam ingatan. Namun, ada pertemuan-pertemuan yang meski sekejap namun serasa abadi. Kita lalu menyebutnya "menjadi kenangan".

Pertemuan yang ‘menjadi kekal dalam ingatan’ itu yang baru saya alami kemarin. Saya sebut kemarin karena rasanya memang baru seperti kemarin meski sudah sebulan berlalu. Pertemuan itu dengan seorang bernama Ahmad Tohari.

Saya bertemu dengannya ketika ia berkunjung ke Jakarta. Saat itu ia diundang untuk menghadiri acara pemutaran film Sang Penari di sebuah mall di kawasan Sudirman.

Terus terang, ini pertemuan pertama saya dengan penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu. Mengenakan kemeja warna putih bermotif garis, kacamata dan topi pet warna hitam ia tampak berbeda dengan semua pengunjung yang hadir. Ia terlihat.. sederhana.
Ia ternyata lebih tua dan sedikit ringkih dari yang saya kira sebelumnya.

“Saya datang di Gambir tadi malam. Dari tempat yang jaraknya 400 km dari sini,” kata Ahmad Tohari, membuka jumpa pers siang itu. Sang sutradara, produser, dan para pemain Sang Penari juga ikut hadir dalam acara itu.

Setelah semua selesai memberikan keterangan pers, Ahmad Tohari dan para pembicara lalu keluar untuk foto bersama. Dan, seperti biasa, memberikan kesempatan wartawan melakukan wawancara kembali.

Beruntung setelah foto-foto tak banyak orang yang mengeremuni Ahmad Tohari, juga mewawancarainya. Hanya beberapa orang yang meminta tanda tangannya dan berfoto bersama.

Setelah tidak ada lagi orang yang mengerumuninya, saya lalu menghadangnya saat ia mau mengambil tasnya. (Setelah memberikan keterangan pers ia masih menenteng tas jinjing yang terlihat tampak sesak yang kemudian ia simpan di balik banner Sang Penari)

Dan dengan sok akrab saya perkenalkan diri lalu mengucapkan selamat, karena bukunya sudah mengilhami sebuah karya yang lebih modern. Saat bertemu itu saya langsung mengaku sebagai orang yang menyukai karya-karyanya. Saya juga mengaku telah membaca semua karyanya dan mempunyai semua karyanya. Lengkap!

Padahal, jujur saja, ada dua buku karyanya yang belum saya baca dan miliki. Belantik dan Di Kaki Bukit Cibalak. Tapi saat itu rasanya saya tidak bisa menahan diri untuk bilang ‘belum lengkap’. Tentu saja untuk menunjukkan sebagai fans yang paling ngefans. Kapan lagi Ahmad Tohari keluar dari sarangnya di Banyumas.

Saat saya meracau seperti itu, ia masih saja tersenyum. Entah ia menyimak atau tidak yang saya katakan. Saya mungkin terlalu cepat bicara. Juga terlalu banyak.
(Saya sadar kemudian cara memperkenalkan diri macam itu benar-benar tak efektif. Saya teringat cara memperkenalkan diri Goenawan Mohamad saat bertemu Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Singkat dan efektif)

kepada Ahmad Tohari lalu saya tanyakan soal bocoran karyanya yang sedang dibuat saat ini. Dan seperti biasa, ia masih saja menjawab dengan rendah hati.

"Ah.. Saya ini kan bukan seorang penulis produktif. Beda dengan penulis yang lain yang produktif," jawabnya.

Masih memilih tinggal di tengah sawah dan betah mendengarkan suara kodok?
Ia lalu ketawa.

Saya menanyakan itu karena dulu pernah sekilas membaca artikel tentang kepindahannya dari Jakarta. Alasannya, Jakarta terlalu bising. Ia memilih kampugnya dimana suara kodok masih terdengar di sore hari.
"Iya, masih di Banyumas, masih tinggal di rumah yang di kelilingi pohon bambu," katanya. Bukankah memang, dengan penanya, burung alap-alap, jangkrik, kodok, mampu memberikan arti tersendiri tentang makna kehidupan.

Setelah selesai basa-basi saya pun dengan hormat meminta beliau untuk membubuhkan tanda tangannya di buku Ronggeng Dukuh Paruk bercover Sang Penari. Juga meminta beliau untuk berfoto bersama. :)

Ah, norak memang. Mungkin karena saya kadung menganggap bertemu penulis itu lebih susah dari pada bertemu artis atau penyanyi. Apalagi dengan selebritis yang selalu tampil di tayangan infotainment.

Sebenarnya saya juga bukan orang yang termasuk suka berfoto bersama dengan para pesohor. Apalagi berbangga saat berfoto bersama dengan mereka. Saya bangga jika orang orang lain merasa bangga jika berfoto dengan saya.

Namun saat bertemu seorang penulis macam Ahmad Tohari, jiwa primordial saya kambuh.

Saya tahu kebanggaan yang saya rasakan mungkin tidak bisa dimengerti oleh generasi pecinta Justin Bieber atau Sm*sh. Atau generasi yang menyukai para pesohor yang senantiasa tampil gemerlap di depan kamera.

Saya mengagumi manusia yang tetap memilih hidup sederhana meski karya sudah diterjemahkan keberbagai macam bahasa. Seseorang yang konsisten untuk memilih
dunia menulis yang sepi.