27 October 2011

Seperti Serpihan Pasir

Sore ini, dalam perjalanan pulang aku tercenung di bis yang aku tumpangi. Akhir pekan, rute Jakarta-Sukabumi memang bukan rute yang bersahabat untuk bergegas. Kau harus sabar menikmati perjalanan yang penuh adegan slow motion ini.

Kali ini, tak ada warna senja yang menemani seperti biasanya. Sejak dari Jakarta hujan turun begitu lebat. Butir-butir air menggelapkan matahari.

Kuusap jendela kaca berkabut di sampingku. Awan gelap masih menggantung di langit. Hujan tampaknya belum akan reda.

Perjalanan. Aku suka suasana perjalanan. Ia seperti malam hari, ketenangan, kedamaian, dan kesunyiannya pas untuk mengendapkan semua yang sudah terjadi. Benakmu dengan mudah mengembara ke mana-mana. Ke masa lalu, teman, pekerjaan, atau masa depan.

Ah, waktu ternyata begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah satu tahun lebih aku di Jakarta. Mengenal kembali manusia-manusia baru. Teman baru. Kehidupan baru. Meski tergagap-gagap melewatinya.

Tentang teman-teman lama, aku sadar betapa jarang aku bersapa apalagi berjumpa dengan mereka. Suatu kali, bersama beberapa teman kampus yang juga bekerja di Jakarta, merancang acara kumpul-kumpul jauh-jauh hari. Namun toh akhirnya gagal juga.

Aku tahu, tak mungkin terus bisa mengharapkan kebersamaan dan keakraban seperti dahulu. Banyak hal berubah dan akan terus berubah. Kita memang harus terbang dan mengepak mimpi sendiri-sendiri.

Bukankah kita semua mesti menyelesaikan sesuatu?

Satu lagi yang selalu menyelinap dalam hatiku adalah tentang hubunganku dengan seseorang. Hubungan dengan seseorang yang "entah kenapa".

Disebut ‘entah kenapa” karena sebagian diriku sedari dulu ingin bertemu, berdekat dan ingin mengobrol lama-lama dengannya. Tertarik, senang, bahagia kukira jika bersamanya.
Namun sebagian dari diriku lagi membiarkan rasa hormat, segan, putus asa, dag dig dug lebih menguasai. Jadi jangankan mengobrol berhadapan dengannya mungkin aku tak berani.

Entahlah..

Tak terasa, bis yang kutumpangi berlalu begitu cepat. Terminal Baranangsiang Bogor sudah tampak di depan mata.

Mungkin seperti itulah perjalanan hidup. Tanpa disadari, tiba-tiba saja perjalanan sudah berakhir. Bahkan sebelum kesadaran untuk melakukan yang terbaik muncul, perjalanan sudah habis.

Waktu, sekuat apapun waktu yang kau genggam ia akan berlalu. Seperti serpihan pasir pantai yang kering yang kau genggam. Lepas tak terasa.

Seorang teman pernah berpetuah dalam kalimat yang lebih puitik dalam menggambarkan tentang orang-orang yang kau cintai.
”Peluk erat orang-orang yang kau cintai. Sebelum ia akhirnya lepas.”
Namun sudah sayup-sayup kuingat.

Bis yang kutumpangi benar-benar sudah sampai tujuan. Sebelum aku berganti bis, aku ingin menghirup dalam-dalam apa yang kurasa dan kujalani.

Aku harus berganti bis. Namun di luar, hujan belum juga reda.

Perjalanan basah Jakarta-Bogor, 22 Oktober 2011

15 October 2011

Perempuan Blues


Perempuan Blues. Begitu aku menyebutnya. Aku bertemu dengannya sebulan yang lalu di sebuah kafe di pinggiran Jakarta.

Malam itu, dia datang saat pertunjukkan blues -yang digelar rutin tiap Jum'at malam- sudah setengah jalan.
Tak ada yang mencolok dengan penampilannya saat pertama kali bertemu.
Seingatku, malam itu ia cuma mengenakan celana jeans biru pudar dipadu dengan kaos putih yang dibalut blazer cokelat muda. Tak mencolok, namun cukup untuk mengalihkan perhatian semua pengunjung dari kesibukkannya.

Apa yang membuat ia sebegitu menarik perhatian? Rambutnya? Mungkin matanya. Matanya mengkilatkan sesuatu yang akrab dengan pengunjung. Entahlah.

Dia memilih tempat tak jauh dari samping mejaku. Memesan kopi, kemudian menyandarkan punggungnya pada sofa. Saat menyandarkan punggungnya itu aku melihat ia begitu lega, lepas seperti membuang beban yang selama ini dipikulnya.

Aku lekas mengalihkan perhatianku pada kopiku. Tapi aku yakin sempat melihat titik air mata keluar dari sudut matanya.

Entah mana yang lebih memesonaku saat itu. Lengkingan gitar yang penuh rasa menyayat-nyayat hati di depan sana, atau wajah cantik yang dilanda mendung, di sampingku.

Selama pertunjukkan blues, aku meliriknya beberapa kali. Kopi di atas meja sudah tak menarik perhatiannya. Ia menerawang menikmati alunan blues.

Sejak saat itu, aku menyengaja datang ke kafe itu untuk bertemu dengannya. Kadang dia yang lebih dulu datang, kadang aku yang lebih dulu menunggu. Masih di tempat yang itu-itu juga. Hanya bertemu tak pernah menyapa, apalagi mengobrol.

Namun setiap kali bertemu ia di kafe selalu ada kebas setiba aku di kamar. Ada rasa, namun tak dapat aku mendefinisikan di mana letaknya. Seperti rasa kopi yang masih tercecap di ujung lidah.

Bayangan perempuan blues itu diam-diam menyelinap dalam hatiku. (Bersambung)

13 October 2011

Kau tahu rasanya..


Kau tau rasanya diacuhkan orang yang kau sayangi?! Dadamu menjadi sesak dan berat. Nyeri. Bahkan perasaan itu bisa muncul hanya karena hal sepele. Seperti sms yang kau kirim atau pesan yang kau kirim saat chatting tidak ditanggapi.

Bukan karena pertanyaanmu yang tak dijawab yang membuatmu tiba-tiba merasa sesak. Tapi kesadaran mengetahui kau tidak cukup berarti bagi orang yang kau sayangi. Bahkan hanya untuk membalas sebuah SMS yang kau kirim. Kesadaran itu yang membuatmu hampa. menciutkan hati.