18 August 2011

Belum Bisa Apa-apa

“Mas, sampeyan wartawan yang meliput ini kan, Mas? Tolong selamatkan tanah saya, Mas. Rumah saya digusur.”

Seorang Ibu dengan gurat-gurat dalam di wajahnya menatapku. Tangannya menggenggam tanganku penuh harap.

Saya diam, tak bisa apa-apa.

Dalam sejam, buldoser meratakan rumahnya.



Dan barangkali karena hanya sebuah koran, jika berita ini terbit esok hari, ia hanya akan jadi berita kecil beberapa kolom mengisi halaman dalam di pojok bawah.



Kecewakah si Ibu?

Pers hanya satu pilar di negara ini..

06 August 2011

Menyempurnakan KBBI, Mungkinkah?

Saat membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sudahkan pengetahuan tentang sebuah kata kita dapatkan? Misalnya, mengetahui kapan sebuah kata masuk dalam bahasa Indonesia, kapan ia mengalami perubahan makna, bagaimana cara pelafalannya, nuansanya, dan dalam bentuk apa saja kata tersebut digunakan?

sudahkah pengetahuan seperti itu kita peroleh dari KBBI? Rasanya tidak. KBBI yang kita punya sepertinya belum bisa menjawab rasa penasaran kita terhadap hal-hal seperti itu.

***

Minggu kemarin saya baru saja mengkhatamkan buku The Professor and the Madman karya Simon Winchester. Ini buku kedua, karya Winchester yang saya baca, setelah Krakatoa.

Fokus cerita buku ini adalah sejarah tentang proses pembuatan kamus yang awalnya disebut New English Dictonary, namun akhirnya menjadi Oxford English Dictonary (OED).

Hal yang membuat saya tercengang adalah mengetahui fakta bahwa dibutuhkan waktu 70 tahun untuk menyusun OED. Sebuah “Kamus besar” yang disebut Winchester sebagai panduan bahasa Inggris paling definitif itu, rampung pada 1928. Tahun dimana founding father bangsa kita mulai menyadari dan mengikrarkan sebuah bahasa yang kelak menjadi bahasa nasional, Bahasa Indonesia.

Waktu 70 tahun sebenarnya tak terlalu mencengangangkan jika melihat hasilnya. OED berhasil menyusun 414.815 kata yang didefinisikan, 1.827.306 kutipan ilustratif yang dibagi dalam 12 jilid raksasa. Bandingkan dengan KBBI yang sampai saat ini belum mencapai 100.000 kata.

Saya sendiri pernah melihat OED di perpustakaan Universitas Brawijaya saat masih kuliah dulu. Entah edisi dan jilid ke berapa. Namun seperti dijelaskan Winchester, kamus tersebut mampu menyajikan pengetauan bahasa Inggris secara keseluruhan.

OED mencatat setiap kata, setiap nuansa, setiap pergeseran makna, ejaan, cara pengucapan, setiap akar etimologi, dan setiap kutipan ilustratif yang bisa dipinjam dari setiap pengarang Inggris. Hal yang belum bisa dipenuhi oleh KBBI.

***

Membandingkan OED dengan KBBI, saya menyadari bahwa KBBI sangat jauh tertinggal. Bukan saja dalam jumlah kata namun dalam penjelasan-penjelasan lain tentang sebua kata, seperti kutipan ilustratif yang menjadi kebanggan OED.

Entah kenapa para ahli bahasa penyusun KBBI sepertinya abai untuk mencermati setiap penggunaan bahasa dalam berbagai penerbitan. Dalam KBBI baik edisi I maupun edisi II, kita tidak menemukan satupun karya sastra, atau surat kabar, yang dijadikan sebagai “pustaka acuan”. Kebanyakan “pustaka acuan” yang digunakan adalah kamus-kamus dan daftar-daftar istilah. Padahal kehidupan sebuah bahasa tidak lepas dari bahasa yang digunakan di masyarakat, seperti koran dan karya-karya sastra.

Bisakah kita bisa menyusun sebuah KBBI seperti OED? Tentu saja. Andai saja para ahli bahasa mau mengurus, saya kira akan banyak relawan yang ikut bergabung.

Dalam pembuatannyapun saya kira akan lebih mudah dan lebih murah. Pasalnya dunia yang kita diami saat ini sudah dilengkapi peralatan modern. Pengumpulan lema dalam karya sastra tidak akan sebanyak saat menyusun OED. Mengingat umur bahasa Indonesia masih relatif muda.

Berkembang dan majunya bahasa hanya tergantung dari kepedulian kita untuk memeliharanya. Memang jauh terlambat. Namun rasanya lebi baik menyadari terlambat dan bergegas mengejar ketertinggalan dari pada diam dan terus terpuruk.

Selamat malam..