27 May 2010

jurnalis


Esai di bawah ini saya tulis sebagai syarat kelengkapan lamaran reporter Republika. Tapi berhubung gak jadi ngelamar, saya pajang saja di sini. Esainya sendiri bertemakan alasan kenapa ingin jadi reporter dengan tak lebih dari 2000 karakter. monggo disimak.

Jurnalis: Keberanian Menyuarakan Kebenaran

Seingatku, waktu kecil, tak ada entry jurnalis dalam cita-cita hidupku. Impian saya saat itu simpel saja: ingin menjadi seorang Insinyur. Cita-cita yang lumrah bagi anak-anak di desa saya. Kalau tak dokter, ya insinyur. Meski sebenarnya, kala itu, saya tidak tahu apa artinya insinyur.

Namun perjalanan hidup bercerita lain. Di usia 18 saya hijrah ke Malang. Masuk ke Fakultas Perikanan di Universitas Brawijaya. Di sana saya untuk pertama kali bersentuhan dengan organisasi. Saya pun jadi salah satu roda penggerak di KAMMI. Di situlah saya kemudian terlibat pada bidang media jurnalis. Profesi yang berbeda jauh dengan bidang studi yang saya geluti saat itu: Perikanan.

Tapi buat saya, belajar pada satu bidang tertentu di universitas tidak berarti mesti mengikatkan diri pada bidang tersebut selamanya. Pendidikan yang diperoleh saat kuliah adalah disiplin belajar dan metode berpikir kreatif serta kesempatan menimba pengalaman seluas-luasnya. Pendidikan yang sebenarnya bisa juga dipelajari di luar universitas. Bedanya cuma satu, kalau dulu saya belajar di luar kuliah saya tak yakin bisa bertemu dengan orang –orang (lingkungan) yang mengantarkan saya terlibat menjadi seorang jurnalis.

Dulu, saya kira menjadi jurnalis adalah tentang bagaimana mencari berita, mengorek keterangan, kemudian menyuguhkannya ke sidang pembaca dalam bahasa yang singkat dan menarik. Begitu mudah. Saya keliru, meski tak sepenuhnya salah. Menjadi jurnalis adalah tentang sikap dan perjuangan.

Seorang jurnalis harus sadar di pihak mana ia berdiri. Karena salah satu tugas jurnalis adalah menyambungkan lidah rakyat ke telinga penguasa. Agar dapat berimbang rasa dan keadilan mereka. Sehingga bukan hanya catatan data saja yang disampaikan oleh jurnalis. Tapi juga cerita, harapan, kerja keras, air mata, keringat, harapan, dan hidup penuh kepasrahan yang ada di balik data dan angka itu semua. Cerita yang biasa luput tersaji di laporan-laporan kerja para abdi negara. Maka itu, integritas adalah syarat mutlak yang harus dimiliki bagi seorang jurnaslis. Tanpa itu, jurnalis seperti speaker tanpa suara: senyap dan mati.

Keberpihakkannya pada kemanusiaan, keberanian dalam menyuarakan kebenaran, dan kegigihannya dalam menyampaikan berita ke sidang pembaca, yang kemudian menandai entry jurnalis dalam cita-cita hidupku saat ini.

14 May 2010

Pencarian Arti Nama


Beruntunglah mereka yang sudah mengetahui apa arti namanya sejak kecil. Paling tidak mereka sudah selesai dengan pencarian atau peng-identifikasi diri melelui namanya. Sehingga tak perlulah lagi melakukan pencarian arti atau makna dari namanya itu. Dan yang penting dari pencarian arti nama adalah kita akan tau apa yang diharapkan (atau apa yang tidak diharapkan) oleh orang tua mereka dengan memberikan nama tersebut. Alasannya sederhana. Karena sebagian dari kita menganggap nama adalah bagian dari do’a orang tua untuk anak-anaknya. Di dalam nama tersebutlah tersimpan harapan orang tua harus jadi apa anak-anaknya ketika besar kelak.

Sedangkan saya, sampai saat ini kadang saya masih sering bertanya ke diri sendiri apa arti dari nama saya itu. Menurut saya bertanya tentang apa arti dari nama sendiri adalah sesuatu yang wajar. Hampir setiap orang saya kira pernah melakukannya. Karena itu game pencarian arti nama begitu banyak dibuat untuk meredahakan rasa penasaran manusia yang satu ini. Namun yang membedakan dari pencarian-pencarian tersebut adalah hasilnya. Ada yang berhasil menemukan apa arti namanya. Ada yang belum. Dan saya termasuk kategori yang ke dua.

Saya coba mencari kemana-mana apa arti dari nama saya tersebut. Tanya ke teman, cari di buku sampai saya cari di google apa arti nama saya tersebut. Namun hasilnya nihil. Sebenarnya masih ada peluang untuk menemukan apa arti dari nama saya itu.: Tanya orang tua. Tapi sayangnya saya gak berani lagi tanya ke mereka. Meskipun keluarga saya termasuk keluarga demokratis tapi ada hal yang tak bisa dikompromikan. Dan alasan lain, sekarang saya terlanjur menganggap nama itu adalah sesuatu yang given. Terberikan. Takdir. Jadi tak perlulah lagi tanya-tanya ke orang tua. Tinggal si anak sendiri yang memberi arti apa makna dari namanya itu. Walaupun toh sekiranya saya berani bertanya ke orang tua, saya gak yakin orang tua saya akan memberi jawaban yang sebenarnya. Ini sepengalaman saya saat akan memberi nama untuk adik saya.

Dulu, saat adik saya lahir, kami (saya, kakak, dan ibu) berembuk untuk menentukan siapa nama untuk adik saya. Kami di suruh memilih nama yang paling baik dari tiga nama yang dibuatkan oleh ayah saya. Ketiga nama tersebut sekarang sudah lupa. Hasilnya, tak ada suara aklamasi. Perbedaan selera antar jaman masalahnya. Saya lebih memilih nama yang agak modern sedang ibu memilih yang Islami. Deadlock. Tak mungkin voting. Karena tak ada voting dalam tradisi keluarga saya. Akhirnya di hari ke tiga ayah datang dengan solusi jadi: memberi nama adik saya dengan yang sama sekali baru dari ketiga nama sebelumnya. Dan anehnya kami semua menyukainya. Sesudahnya saya tak mempertanyakan apa arti dari nama adik saya itu.

Kembali ke pencarian arti nama saya.
Dulu saya sempat agak malu juga mengetahui begitu banyak orang yang memakai nama yang sama dengan nama saya. Saya malu bukan karena merasa nama saya jelek. Justru sebaliknya, saya melihat orang yang mempunyai nama sesuai dengan saya itu orang yang berhasil. Kalau di pewayangan nama saya itu biasanya dipakai untuk nama-nama pangeran. Meskipun begitu saya gak merasa nama saya adalah nama yang keren juga. Biasa-biasa saja.

Saya malu karena terlalu banyak orang bernama sama dengan nama saya. Jadi saya merasa seperti memakai pakaian yang sama dengan orang lain saat pergi ke pesta. Namun untunglah setelah saya cari di google dan situs jejeraing sosial terkenal, sampai saat ini, belum saya temukan orang yang bernama lengkap plek sama dengan nama lengkap saya. Hufffhh.. untunglah. Ibrat pakaian seperti memakai kain batik namun dengan corak yang berbeda, begitulah pikir saya.

Dulu juga, seorang Rektor universitas tempat saya dulu kuliah, yang namanya sama dengan saya, pernah mengatakan apa arti dari namanya itu. Saya senang mendengarnya, karena arti nama saya, menurut beliau, adalah anak baik. Saya ga tau pasti apakah Rektor saya ini bergurau atau serius. Kalau bergurau, sang Rektor terlihat serius saat mengatakannya dan ditempat dan waktu yang formal. Bayangkan di saat apel penerimaan mahasiswa baru! Tapi kalau serius maka timbul pertanyaan. Apa kalau sudah tua tidak lagi baik? Apakah baiknya cuma pas jadi anak-anak saja...

Entahlah...
Biar si anak sendiri yang menentukan apa arti dari namanya!
Buat teman-teman yang belum mengetahui arti namanya saya ucapkan selamat bertualang dalam pencarian!


Sukabumi-Malang-Sidoarjo.

12 May 2010

Jangan Menyerah, Brother!



Api berkobar menyala terang menerangi langit kota. Fasilitas riset merangkap workshop produksi besar di mana seluruh pekerjaan Edison hingga hari itu terbakar sudah.

Edison berdiri tak berdaya menatap kobaran api yang membakar hampir seluruh kertas kerja, ide-ide dan data penelitiannya. Namun tak keluar sedikitpun komentar penyesalan atau emosi yang meluap-luap dari bibirnya. Yang terucap justru komentar optimisnya di depan api yang menyala tersebut "Semua salah perhitungan dalam ide-ide dan penelitian-penelitian kemarin lenyap bersama api ini. Besok kita bisa mulai lagi dari awal, bebas dari segala beban kesalahan tadi ..."

Cerita yang kemudian terjadi adalah tercatatnya Edison sebagai salah satu inovator terbesar dunia hingga saat ini.

Yang terbayang dalam benak saya adalah jika saja saat itu Edison menyerah di hadapan api yang membakar habis gedungnya. Mungkin bola lampu tak pernah tertemukan.
Pertanyaan saya selanjutnya adalah apa yang membuat Edison tidak menyerah? Sedangkan segala alasan untuk menyerah sudah ada di depan mata. Bahkan orang-orang saat itu akan memaklumi jika ia akhirnya menyerah.

Jawaban yang saat ini saya temukan tentang pertanyaan di atas adalah semata-mata adanya harapan. Karena Edison masih melihat adanya harapan. Harapan untuk melihat segala apa yang ia mimpikan masih mungkin terwujud. Tak peduli seberapa besar harapan itu sehingga kata menyerah tak terucap dari bibirnya.

^^^

Sekarang mari kita berbicara tentang harapan.
Lionel Tiger dalam buku “biologi harapan” mengatakan bahwa manusia adalah “makhluk yang memiliki bakat besar untuk berharap".
Mungkin benar. Namun adakalanya manusia terbentur keadaan hingga tak sanggup lagi untuk berharap. Bak menabrak kaca benggala yang tak mungkin pecah atau retak. Walaupun masih bisa berharap. Kadang harapan mereka adalah sesuatu yang datang dari luar dirinya. Bukan harapan atas keyakinan kepada apa yang ada di dalam dirinya. Seperti mereka yang berharap datangnya Ratu Adil saat tertindas. Semakin mereka tertindas semakin kuat harapan mereka bahwa sang Ratu Adil akan hadir di akhir cerita membawa keadilan. Seperti mereka yang berharap akan keberuntungan angka-angka yang akan mengeluarkannya dari pahitnya kemiskinan.

Maka yang dibutuhkan untuk melengkapi harapan adalah kerja keras, usaha, dan do'a yang tak kenal lelah. setidaknya bilamana harapan pada akhirnya menemukan kegagalan, seorang yang telah sungguh-sungguh berjuang akan dengan kepala tegak menghadapinya. Keadaan seperti ini terekam dengan indah dalam dialog antara Minke adan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia-Pram, Ketika segala daya upaya mereka untuk mendapatkan Annelis untuk tidak di bawa ke Belanda ternyata gagal.

“Kita kalah, Mak?” kata Minke
“Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.”

Begitulah bila segala daya upaya sudah kita usahakan namun toh pada akhirya hanya kegagalan yang ditemui. Di sana kita tetap tegak menerimanya dan siap mengatakan: Apa yang terjadi, terjadilah!

Karena kita sadar ada yang setia mencatat setiap usaha dan kesungguhan menjadi amal.

Sukabumi-Malang-Sidoarjo.