28 February 2010

Patah Hati

Ibenk : Bang, sedih nih. Bingung!
Abang : Cengeng, ah..!. Masa gara-gara cewek ajah pake acara sedih dan bingung.
Ibenk : Tapi ini serius, Bang.
Abang : Emang bingung kenapa? Cewek kamu hamil?
Ibenk : Bukan..
Abang : Cewek kamu minta kawin?
Ibenk : Bukan.
Abang : Diputisin?
Ibenk : Bukan eh, belum, Bang..
Abang : Apa terusan? Kok kayaknya serius banget.
Ibenk : Itu, Bang. Dian Sastro, Bang?
Abang : Oo, ga punya duit buat nonton film terbaru Dian, yah? Ayo, saya traktir nonton kalo gituh.
Ibenk : Bukan! Bukan itu, Bang
Abang : Terus kenapa dengan Dian Sastro!?
Ibenk : Dian Sastro, Bang!! Dian Sastro udah tunangan kemaren, Bang.
Abang : Yang bener, Benk!?
Ibenk : Iyah!
Abang : HuaaaaaaaAA.. huAAAAA..!!!

27 February 2010

Ronda Malam

Abang : Kebetulan Ibenk ke sini. Besok malam kan bagian jaga ronda, Benk. Grup kita masih kurang dua orang nih. Enaknya ngajak siapa yah?
Ibenk : Banyak, Bang. Tinggal pilih ajah. gituh ajah susah.

Abang : Bagaimana kalau ngajak si Duren.
Ibenk : Jangan, Bang. Jangan si Duren! Dia mah ga enak kalau di ajak ngomong. Omonganya tajem. Kedengarannya ajah halus tapi menusuk. Kromo inggil tapi berduri. Jangan dia, Bang. Ngeronda enggak, malah berantem lagi.

Abang : Kalau gitu si Manggis ajah. Dia kan jujur.
Ibenk : Jujur sih jujur, Bang. Tapi orangnya sering gak lihat-lihat situasi kalau ngomong. Dulu, pas saya mau jual HP ke si Keledai 500 ribu, ga jadi gara-gara dia. Masa datang-datang langsung ngomong “HP gini mah di Glodok juga 75 rebuan nih”. Sialan tuh kan, Bang.

Abang : Kalau si Kebo, gimana? Dia kan lumyan kuat tuh.
Ibenk : Ihh.. jangan dia. Dia mah perut karet, Bang. Kerjaannya makan terus. Mulutnya itu ga bisa diem, Bang. Harus diisi makanan terus. Kentongan kalau ga dijagain bisa di makan juga, Bang. Jangan. Jangan dia ah..!! yang lain ajah. Nanti Pos ronda, kalau di lalap sama dia kan berabe, Bang.

Abang : Kalau si Kuda Nil?
Ibenk : Tukang tidur. Percuma negronda bareng sama dia, Bang. Di pos paling cuman tidur.
Abang : Kalau si Macan?
Ibenk : Apalagi dia, Bang. Dia mah tukang berantem. Ga bisa diatur. Keras kepala. Lha kemaren tukang sate lewat, ga mendung ga ujan langsung ditonjok. Cuma gara-gara tuh tukang sate kakinya agak pincang. Disangkain si Macan tuh tukang sate jalannya ngejago gituh.
Abang : Si Semut?
Ibenk : Ha! Semut!? Mendingan jaga ronda sendirian deh, Bang. Daripada ngajak dia. Disuruh pukulin tiang listrik, minta dianter. Disuruh beli rokok, harus bareng. Minta buatin kopi, kudu ada yang nemenin. Mendingan sendiri, Bang.

Abang : Ya udah, Ginih ajah. Kamu cari satu orang. Saya cari satu. Besok malam udah beres, Gimana?
Ibenk : Nah. Gitu ajah, Bang.
Abang : O, iya. Ngomong-ngomong ada keperluan apa nih Ibenk ke sini?
Ibenk : Itu, Bang. Anu.. Saya mau ijin lagi gak bisa ngeronda besok malam.
Abang : Lho, kenapa? Ada lembur?
Ibenk : Bukan, Bang. Itu..anu.. Mau nonton liga Champion. MU sama Milan, Bang.
Abang : Euuuhhh... Borokokok siah..!!

25 February 2010

Neng, ...

-Neng, dimadu mau gak?
-Nggak mau, Bang.
-Kalau diracun, mau?
-Kalau Abang yg racun, neng siap, Bang.

20 February 2010

Kita.


“Indah bukan?” Tanyaku pada perempuan yang berada di sisiku..

“Iya”. Jawabnya.
Matanya menatapku sebentar, seperti mengatakan “terima kasih sudah membawaku kemari”, Kemudian matanya kembali menyapu hamparan pemandangan yang ada di bawah. Dari tempat kami berdiri, pemandangan di bawah sana memang menakjubkan.

“Belum pernah ke sini sebelumnya, kan?” lanjutku, mencoba mencari tau apa arti tatapan “terima kasih”nya itu.

Kemudian ia memberikan jawaban yang mengejutkanku.
“Sudah. Dulu. Satu kali.”
“Kita makan di tempat yang tadi, berhenti di sini, tepat berdiri di sini, lalu kita pulang.”

“Kita!?” suaraku terdengar parau dan hampa. Mencoba mencari tau siapa orang yang berada di antara kami berdua sekarang.
“Maksudnya kamu sama aku?” aku mencoba memastikan, namun pertanyaan tersebut terasa konyol di telingaku. Tak mungkin ia salah menyebut kata “kita”. Ia seorang penyair.

“Bukan..” katanya, dengan tenang. setenang lembah yang ada di bawah sana.
Ia lalu menyebutkan namanya sendiri lalu nama mantan pacarnya.

Dari tempatku berdiri, tiba-tiba seperti ada belati yang menusuk tepat di jantungku berkali-kali.

18 February 2010

Ir. Sukandar

Semangsa kuliah dulu, ada satu kelas yang selalu saya tunggu-tunggu. Kelasnya Ir. Sukandar. Tentu, bukan karena alasan penampilannya. Walaupun penampilan beliau memang agak beda dari yang lain : sederhana, terkesan “ngasal” dan santai. Rambut gerimis hampir habis, kemeja putih dengan lengan yang dilipat dan membiarkan satu kancing di bawah kerahnya terbuka, dengan tas jinjing hitam yang isinya hampir selalu berdesak.

Tentang gaya berpakaiannya, saya tahu kemudian membiarkan satu kancing kemeja terlepas sehingga memperlihatkan sebagian dada adalah ciri orang terbuka. Dan keterbukaan itulah karakter yang kemudian saya kenal dari beliau. Ia terbuka dengan hal-hal baru dan selalu mempersiapkan diri dengan kemajuan teknologi. Saya ingat, disaat dosen yang lain masih menggunakan OHP dengan lembar materi yang tak pernah berubah bertahun-tahun, beliaulah salah satu pelopor penggunaan tekhnologi (in focus dan laptop) saat kuliah. Mungkin karena keterbukaan itu juga banyak mahasiswa memanggilnya dengan sapaan akrab “Cak”. Cak Kandar.

Saya mengenal Cak Kandar sedikit terlambat. Seharusnya saya mengenal beliau ketika mengisi materi kuliah umum di acara ospek maba. Namun, seperti pada acara-acara ospek lainnya, saya tak terlalu memperhatikan pembicara bila di dalam kelas. Acara ospek dalam kelas hampir selalu membosankan. Sehingga membuat saya lebih memilih tidur atau ngobrol saat materi berjalan. Termasuk ketika Cak Kandar (yang mungkin waktu itu saya tertidur ketika ia) mengisi materi. Perkenalan awal terlewatkan. Saya luput. Setelah beberapa lama kuliah, saya tahu Kemudian beliau ini dosen yang selalu didaulat untuk mengisi materi perkenalan perikanan kepada maba di ospek-ospek fakultas, lebih-lebih di jurusan. Dan yang selalu diperkenalkannya adalah singkatan PSP menjadi Program Salah Pilih. :)

Barulah di awal kuliah saya mengenal Cak Kandar. Tepatnya ketika kuliah Daskap (Dasar Penangkapan) dimulai. Kesan pertama begitu menggoda, begitu adigium. Dan dipertemuan pertama ini Cak Kandar memberi kesan perkenalan yang susah dihapuskan dalam ingatan saya. Terutama karena peraturan “aneh” yang diterapkan di dalam kelasnya: Pakai sandal silahkan. Pakai kaos silahkan. Tidur di kelas silahkan. Gak hadir silahkan. Yang penting jangan mengganngu temannya yang ingin memperhatikan. Tentu peraturan tersebut terasa menyenangkan bagi saya. Karena menawarkan aroma-aroma kebebasan, apalagi bagi anak yang baru keluar dari penjara sekolah. Namun diperaturan ini pula saya menangkap pesan yang lain. Pesan yang lebih dalam dan selalu harus dijungjung dalam kehidupan. Kebebasan yang bertanggung jawab.

Setelah itulah saya memilih mata kuliah yang diajar oleh beliau. Bukan karena alasan nilai dan peraturannya semata. Mengikuti kuliah beliau saya bisa menyerap bgitu banyak informasi. Mungkin karena isi kuliah Cak Kandar tak selalu lurus-lurus tentang materi kuliah. Kadang materi kuliah sampai melebar dan meluber ke kehidupan sesehari. Berkelok Ke lampu rem yang warnanya merah, ke cara tidur sambil duduk dan berdiri, ke bahasa, ke jamaknya orang menggunakan kata yang salah, ke cara menggunakan jam tangan ala sniper, ke cara menampar yang benar, singkatan yang salah, ke teknologi, ke mana-mana.
Saya pikir seharusnya Cack Kandar ini mengajar mata kuliah filsafat sains. Tapi mungkin karena dulu kuliah di “PSP” yang juga program salah pilih, pada akhirnya ia harus mengajar mata kuliah PSP juga. :)

Salah satu “ilmu” dari Cak Kandar yang sering saya terapkan adalah bagaimna tidur sambil duduk dengan dagu menempel pada dada, dan bagaimana tips bolos yang pintar. Cak Kandar pernah memberi tips bolos pintar bagi mahasiswa yang terpaksa harus bolos. Dan waktu itu saya merasa termasuk kategori “mahasiswa yang terpaksa harus bolos”. Kalau mau bolos kuliah, lanjut Cak kandar, jangan bolos di pertemuan pertama kuliah. Justru pertemuan pertama itu yang penting. Karena di sanalah dosen memberikan silabus materi selama satu semester. Dan jadilah saya (sering) bolos, walau kemudian bolos tak menjadikan saya seorang yang pintar dan tak selalu bisa menerapkan “bolos yang pintar”. Karena ada juga dosen yang tidak memberikan silabus materi di pertemuan kuliah pertama.

Hal yang paling mengasyikkan dari Cak Kandar adalah bagaimana cara membangun hubungannya dengan mahasiswa dan karyawan. Hubungan Cak Kandar dengan mahasiswanya lebih dari sekedar hubungan akademik dosen dan mahasiswa, lebih dari hubungan santri dan kiayinya: Akrab. Guyub. Egaliter.

Dulu, hampir setiap hari saya mendapatkan beliau cangrukan di kantin Mamih, kantin fakultas perikanan. Entah untuk sarapan atau makan siang, tak selalu jelas. Tapi ia merasa tak risi harus duduk ngobrol dengan para mahasiswa di kantin. Memesan kopi lalu dengan segera terlibat obrolan yang seru dengan siapa saja yang ada disekitarnya. Terkadang saya juga ikutan nimrung ngobrol dengan beliau. Ngobrol dengan beliau memang selalu menarik. Obrolan apapun. Kadang obrolannya ngarol-ngidul, kadang obrolan seperti cendikiawan, tak jarang seperti seniman.

Di kantin Mamih inilah dialog terasa berjalan lancar tanpa hambatan. Seperti laiknya obrolan-obrolan warung kopi. Tiada kendala atasan bawahan. Tiada sekat psikis dosen, mahasiswa atau karyawan. Saya kira di tempat inilah ilmu pengetahuan lebih banyak dipertukarkan dari pada di ruang-ruang kuliah. Namun setelah warung Mami “digusur” saya tak pernah melihat beliau duduk makan di kantin lagi. Beliau lebih sering memesan soto dan menyantapnya di lab. Saya tak tahu kenapa. Mungkin inilah salah satu cara penolakan beliau terhadap arogansi kesewenang-wenangan. Entahlah. Mungkin saya salah. Toh, saya tak pernah tanya.

Sampai sekarang, terakhir saya bertemu, beliau belum berubah. Beliau selalu terbuka dan siap mendengar dan memperhatikan urusan-urusan mahasiswa. Selalu ada dalam barisan yang mengawal perbaikan Fakultas dan Jurusan. Memang, tak jarang ia menyindir dosen yang tak pernah menyiapkan diri dengan kemajuan jaman. Menyindir dosen yang datang ke kelas dengan materi yang sama berpuluh-puluh tahun. Tapi sindirannya terasa lebih seperti lecutan untuk membangun Fakultas Perikanan lebih baik. Beliau selalu mengingatkan Faperik UB tertinggal 15 tahun dengan Faperik IPB.

Ir. Sukandar. Ia mungkin tak kenal saya. Tapi, saya salah satu mahasiswa yang kemudian mendapat pertolongan bimbingan ketika harus mengulang ujian skripsian. (Maklum, mahasiswa bodoh, ujian skripsianpun harus ngulang :) ). Dari itu semua, keterlibatannya dalam menawarkan ruang kelas yang tak selalu membosankan, kesediannya mendengarkan, keterlibatannya dalam setiap perbaikan, keakrabannya dengan mahasiswa, menjadikan Ir. Sukandar salah satu dosen favoritku.

Maju Terus Faperik!!

***
Mungkin sesekali kita senandungkan lagi yel-yel nostalgia kita. Yel-yel yang, menurut saya, wah!
Wah, bukan karena liriknya yang hebat! Wah, karena ia seperti mengejek kesadaran dan keadaan kita saat itu, mahasswa baru. Terus terang, lirik ini seperti senyum monalisa:
Eeoooo... (plok..plok..plok..)
Eeeeoooo...(plok..plok..plok..)
Eeeoo..eeoo..eeeooo...
Faperik pilihanku
Jaya perikananku 2x

13 February 2010

Pengadilan 15 menit

“Maliiiinnng!! Copeeet!!”
Teriak seseorang dengan telunjuk mengarah kepadaku.
Seketika itu aku berada di tengah gelombang manusia dengan sorot mata yang tak pernah kukenal. Sepatu, batu, batang kayu berulang menghantam..

“Hajar sampai mati!!
“Serett di jalan....!!”
“Bakar saja!!”
“Jangan! Berhenti- berhenti! Sudah cukup! Kita serahkan ke polisi!”
“Polisi?”
“Woooyy!! Jangan sampai ke polisi”
“Cepat ambil bensin! Seret, lalu bakar!!

Pengadilanku berakhir tanpa mendengar pembelaanku sedikitpun. Vonis sudah dijatuhkan.

Orang-orang senang bukan main. Berjingkrak mengelilingiku. Beryel-yel. Seperti menyaksikan gol dari tim sepakbola kesayangannya.
“Bunuh maling! Bunuh maling!” terdengar yel-yel ditelingaku berulang-ulang.

Yang terakhir kali kurasakan adalah dingin bensin yang membasahi seluruh tubuhku.
Setelah itu, tercium bau daging terbakar yang mereka hirup dalam-dalam seperti menghirup wangi taman. Seperti meendapat tenaga baru, orang girang bukan main, lalu menari mengelilingiku. Dan yek-yel semakin sengit.

Asap hitam membungbung tinggi ke angksa.

Mayatku tak bisa dikenali karena dompetku berada di tangan orang yang terakhir kali menunjukku.

11 February 2010

Ini hari indah sekali, tapi...

Ini hari indah sekali, tapi..

Hari ini saya bangun pagi-pagi sekali. Gosok gigi, lalu mandi tanpa senam pagi dan nonton berita pagi. Sisir rambut belah sisi lalu pakai baju rapi tak lupa disemprot minyak wangi rasa daun kemangi agar lebih percaya diri. Saya pergi pagi-pagi bukan karena mau kuliah pagi, tapi ada janji. Janji ketemu kekasih hati. Kekasih yang baik hati. Janji ketemu di warung kopi yang di jalan Ahmad Yani samping gang kelinci jam delapan pagi. Saya senang, akhirnya kita bertemu pas jam delapan pagi. Saya kira dia akan pakai rok mini, atau gaun resmi untuk hari ini, ternyata dia pakai baju sesehari. Rambut poni wangi melati pakai celana jeans dan kaos putih dengan gelang warna-warni di tangan kiri tanpa sepatu hak tinggi. Cantik sekali seperti bidadari. Lalu ia memilih duduk di sisi kiri dekat televisi yang mati dengan satu meja dan dua kursi. Kita duduk saling berhadapan diiringi suara merdu Ariel –mungkin nanti, lalu suara Giring Nidji, setelah itu saya tak ingat lagi. Romantis. Saya pikir ini hari indah sekali!

Kita duduk, lalu ia memesan roti isi strawberi dan jus leci, sedang saya pesan roti isi nasi tambah goreng rempela ati dan kopi. Maklum, dari semalam perut belum diisi. Kami ngobrol ke sana- ke mari dan ketawa ketiwi tapi tidak sampai ngerumpi. Tak terasa sudah satu jam limebelas menit kita duduk di sini. Saya pandangi ia tersenyum manis sekali. Kalah saya punya kopi. Saya pandangi lagi, dan dia tersenyum lagi, ada lesung pipi dan terlihat gigi putih kecil berbaris rapi. Pengen saya cubit dan cium itu pipi tapi saya menahan diri.

Sekarang, sudah tiba saatnya menyatakan maksud hati. Dan tiba-tiba saya menjadi gerogi. Saya tarik nafas panjang agar tenang dan lebih berani. Saya ingat-ingat lagi, satu minggu saya merencanakan untuk hari ini. Berlatih bicara berhari-hari agar tak salah tingkah dan gerogi. Masa menyerah sampai di sini.

Saya bulatkan tekad di hati. Saatnya bicara tapi.. saya gerogi lagi, tapi tinggal selangkah lagi. Jangan menyerah di sini, kata isi hati. “Say, hari ini..” dan tiba-tiba..pettt..!! Musik berhenti lampu mati. Sial!! ruangan gelap sekali. Padahal ini baru jam sembilan pagi. Kurang ajar ini warung kopi. Saya berdiri. Akan saya marahi itu pemilik warung kopi. Tapi tiba-tiba saya tidak bisa berdiri.. kaki saya lemas sekali. Sedang nafas seperti tercekik, mau teriak tapi mulut seperti terkunci. Keringat dingin keluar dari dahi. Biidadarii.. !! tapi yang terdengar hanya “Iii. Aaa..aaa .. iiii....!!”

Saya sadari bidadari sudah tak terlihat lagi dari tempat duduknya di kursi. Apa mungkin ia sudah pergi? Pramugari eh, bidadari, kau jangan dulu pergi? Tak ada jawaban dari bidadari. Saya bicara sekali lagi. Kali ini lebih berani. Bidadari, jangan dulu pergi!!. Masih tak ada jawaban dari sang bidadari. Ah, mungkin dia sudah duduk di luar sambil melihat orang berlari pagi. Kali ini saya paksakan berdiri dan berlari mengejar bidadari dengan segenap hati. Saya berlari dan tiba-tiba AWW..!! SAKIITTT...!! Kaki saya tersandung kursi. Tepat di kelingking dan sakitnya bukan main seperti abis dioperasi. Setelah itu ruangan terasa jauh lebih gelap lagi. Saya jatuh dan tak sadarkan diri.

Tak berapa lama, saya menemukan diri terbaring di lantai kamar yang sempit dengan jam beker di meja menunjukkan jam satu dini hari. Sedang kaki tertimpa lemari dengan buku berserakan di sana-sini.
Sial..!! ternyata semua hanya mimpi.

Tiba-tiba terdengar suara entah dari mana, mungkin suara dalam hati.
Kasihaaaan deh lo Maliii!!

10 February 2010

Kekerasan atas nama Yang Maha


“Kekerasan”.

Kata tersebut tampaknya sudah menjadi tak asing di telinga kita. Atau mungkin sudah menjadi jamak bila kita terus menyimak koran atau berita di televisi. Karena hampir saban hari, media kita menyediakan waktu (bahkan segmen khusus) untuk berita tindak kekerasan dengan macam variannya: Perampokan dengan kekerasan, penghakiman massa, penggusuran paksa, perebutan lahan parkir, tawuran antar warga, tawuran antar pelajar, kekerasan dalam ospek, penyerbuan aliran sesat dan lain-lain dan lain-lain.

Mungkin budaya kekersan adalah warisan (atau kutukan) dari nenenk moyang kita. sebagaimana dalam catatan perjalanan admiral Cheng Ho yang sempat mampir ke Nusantara di abad XV yang mendeskripsikan penduduk yang mendiami pulau-pulau Indonesia sebagai “orang-orang berdarah panas yang gemar menguji keampuhan pisau mereka ke tubuh tetangganya”. Sifat kasar dan urakan mungkin benar terwariskan bila melihat masih diproduksinya kekerasan dalam mengekspresikan ketidaksetujuan. Apalagi digunakannya kekerasan sebagai jalan keluar paling mudah dalam menyelesaikan suatu masalah. Jalan paling mudah karena dalam bahasa kekerasan berlaku hukum yang sederhana: yang kuat yang menang.

Namun dari itu semua yang paling menyedihkan (dan sekaligus saya benci) adalah saat agama dijadikan tameng untuk mensahihkan kekerasan terhadap orang lain. Tindak kekerasan atas nama agama jelas bukan perkara baru di dunia: Merebaknya suasana ketidakadilan yang semakin lama semakin meluas di mana-mana, pembacaan teks yang literal dari masing-masing pemeluk, adanya ketidakpastian hukum. Semua itu, seperti minyak yang terus menggenang dalam mind set massa. Sekali api terpantik dan krashhh!! Menyalalah kekerasan.

Di sini, agama menjadi hal yang mudah dibentuk dan dirombak. Di satu sisi Agama dapat dipakai untuk mempromosikan kebajikan, perdamaian dan ketulusan. Namun tak jarang agama menjadi alasan untuk melanggar hak privat orang lain, bahkan menyalakan kebencian dan kekerasan. Jelas, melihat agama dalam sudut seperti itu sungguh sangat berbahaya. Mengingat akan selalu ada ketidakadilan dalam kehidupan manusia. Akan selalu ada alasan untuk menjadi tidak puas dalam ketidaksetujuan. Dan akhirnya menyeret agama sebagai alasan menyalakan kekerasan atas nama Yang Maha.

Agama pada akhirnya adalah institusi yang punya jejak-jejak ketidaksempurnaan manusia di dalamnya. Namun karena ketidaksempurnaan itu juga, manusia memiliki banyak potensi dan pilihan. Potensi yang akhirnya merubah bangsa yang dasarnya keras dan urakan, mampu membangun peradaban seperti yang tercermin dalam nilai-nilai tradisi yang kita punya saat ini. Melihat hal itu, mau tak mau membawa pengharapan pada saya akan adanya kehidupan yang lebih baik..

Selamat berakhir pekan.
**
semoga suatu saat kekerasan hanya terjadi dalam cerita-cerita saja, atau cerita pengantar saat anak akan tidur.

tulisan ini entar2 saya edit lagi kalau udah dapet referensi yang bagus. terus terang masih bingung bikin penutupnya.

09 February 2010

Mah, curhat dong..



Saya itu ma-les banget kalau harus disuruh bangun pagi. Maksud saya, pagi yang benar-benar pagi. Pagi antara jam tiga sampai jam lima. Bukan pagi antara jam tujuh sampai jam sepuluh. (Kalau bangun di rentang waktu yang ke dua mah.. Euuhh.., jangan ditanya. Saya ahlinya!) :) Meskipun, dalam beberapa episode hidup saya, saya pernah juga mengalami siklus di mana saya tidur lewat tengah malam dan bangun menjelang Subuh. Bahkan pernah juga mulai tengah malam saya keluar, main ke pasar tradisional, menyusuri jalan besar, mampir di warung-warung malam, dan baru pulang dan tidur setelah Subuh.

Jadi, untuk kenyamanan pembaca (tepatnya kenyamanan saya :) ), kalimatnya harus diperbaiki. Saya itu bukan ma-les, tapi su-sah banget kalau harus disuruh bangun pagi. Apalagi kalau di rumah. Rumah memang memiliki magi sendiri untuk masalah kenyamanan. Termasuk dalam masalah bermalas-malasan.

Hari ini saya (ter)bangun seperti biasa: mata melek, lalu ke kamar mandi, wudhu terus sholat. Namun saya baru ngeh, dalam beberapa hari ini, meskipun tak urut, saya bangun lantaran “teriakan” atau di tengah “teriakan”: “Mamah..... curhat dong?!” kemudian ada yang menjawab “Iya dong”. Awalnya saya kira belum ada yang matiin teve dari semalam. Kebiasaan jelek apabila saya di rumah. Terdidur di depan teve dan membiarkan teve begadang semalam suntuk. sendirian lagi. Tapi, usut-punya usut, untunglah ternyata ibu saya yang emang hampir saban pagi menyempatkan duduk mendengarkan ceramah-ceramah Subuh di teve. terutama acara Mamah dan Aa.

Saya memang tak suka nonton televisi. Tepatnya tak suka kalau harus nonton subuh-subuh, kecuali ada main bola :).

Karena posisi pintu kamar saya ada di ruangan tengah, lebih tepatnya di depan televisi, meskipun saya gak menonton dan pintu kamar tertutup rapat, tetap saja suara acara Mamah dan Aa seperti punya kekutan dan mampu menerobos masuk menhancurkan pertahanan pintu dan selimut saya yang nyaman. Hingga akhirnya sampai juga ke telinga saya.

Anehnya, meskipun gak menonton acara tersebut, dalam artian cuma mendengarkan suaranya yang sayup-sayup dari kamar yang menerobos paksa telinga yang belum terjaga sepenuhnya, berasa sekali kalau Mamah Dedeh itu seperti menjadi seorang ibu bagi semua warga Indonesia.. terutama bagi para perempuan dan ibu-ibu. Ia seorang ibu yang bijak, yang penyayang. Dan yang paling penting Mamah Dedeh memiliki kemampuan yang dimiliki setiap seorang ibu: mau mendengarkan segala tetek bengek, remeh temeh, segala keluhan dari semua anak-anaknya dengan seksama dan mau memberikan solusi dari masalah anak-anaknya. Maksud saya benar-benar mendengarkan. (Paling tidak, selama acara tersebut berlangsung lah... ) Dan solusinya pun bukan sembarang solusi. Solusi yang diberikan adalah solusi yang berangkat dari pemahaman agama yang dalam. Makanya tak heran kalau acara “curhat-curhatan” ini sekaligus menjadi semacam, acara kuliah Subuh. Bahkan lebih dalam, karena memberikan problem terhadap masalah-masalah sesehari.

Saya pernah baca kalau perempuan itu punya penyakit “pingin curhat” stadium empat. Meskipun penyakit kronis, tapi penyembuhannya sangatlah sederhana : cuma “butuh didengerin”. Dan Mamah Dedeh, atau mungkin juga produsernya, tahu banget kebutuhan manusia (baca : perempuan) yang satu ini. Dan mengalirlah curhat-curhat dari seluruh Indonesia.


“Mah, tetangga saya tukang gosip.. gimana dong cara menghadapi orang seperti itu..”

“Mah, suami saya sudah setahun gak bekerja, terus kebutuhan keluarga sementara ini dari tabungan dan dari pekerjaan saya, giamana saya ngomong ke suami..

"Mah, tetangga saya melihara kambing, baunya kemana-mana...gimana nih..”

“Mah, saya ingin pindah dari rumah mertua. Tapi suami gak setuju karena orang tuanya ga ada yang jagain. Sebaiknya gimana, Mah? Gimana cara ngomongnya ke suami?”

“Mah, saya gak tahan hidup dengan suami..”

“Mah saya pengen cerai..”

“Mah..., “

“Mamah..”

“MAMAH...!!!!”

***

kalau disuruh tanya (baca: curhat) ke Mamah Dedeh saya cuma pengen tanya gini.
Mah, orang yang sudah punya pacar kira-kira masih bisa mencintai orang lain gak?

Kalau Anda kira-kira mau curhat apa?

02 February 2010

Panggil saya Acep saja.

Setiap kali nama asli Acep disebut, pasti orang-orang pada heran. Pasti kemudian bertanya. “Kok bisa ya panggilannya Acep? Jauh banget dari nama aslinya”. Sementara, yang lain bilang “Gak nyambung ah nama panggilannya”. Dulu Acep pernah heran juga, tapi Acep mah gak pernah bertanya ke Abah atau ke Emak tentang bedanya nama panggilan dan nama asli Acep. Menurut Acep mah gak pantas nanya-nanya asal-usul alasan pemberian nama ke orang tua. Udah dari sananya bernama Acep, ya udah terima saja. Kalaupun ada alasan, pasti kalau saatnya tepat, Acep pasti di kasih tahu. Yang Acep tahu, sampai sekarang ini, nama asli Acep itu pemberian kakek, sedangkan nama panggilan di kasih sama Abah. Itu saja.

Lagian di kampung Acep hampir setiap orang punya nama kecil atau nama panggilan yang beeeda banget dari nama aslinya. Contohnya Lisa dipanggil Icha, Guntur jadi Duduy, Martin jadi Ririn, Arman jadi Udeng, Adang jadi Cecep, Topan jadi Mpang, Syaiful jadi Ipul, Ali jadi Oncom, dan saya, Aria Indrayana di panggil Acep. Heran kan!? Kok bisa, ya!? Sama, Acep saja heran.

Kalau Acep perhatikan, nama panggilan teman-teman Acep itu lebih santai, lebih ringan. Gak rumit, gak njlimet. Gak ada artinya sama sekali, rada-rada lucu, bahkan terkesan ironis, atau bahkan menirukan bunyi sesuatu. Seperti nama keponakan Acep yang nama panggilanya E’a. Ketika Bibi Acep di tanya kenapa namanya E’a jawabnya ringan banget. Karena dulu, kata Bibi Acep, pas selagi orok si E’a kalau nangis suaranya ea..eaa...
Tuh kan!
Lha emang ada gituh orok yang nangisnya mengembik... ah, ada-ada saja si Bibi mah! Gak kreatif banget, yak!?

Beda banget sama nama Asli atau nama resmi yang biasanya tertera di akte kelahiran. Nama Asli orang-orang kampung Acep biasanya gagah, hebat, punya makna yang menggambarkan sifat-sifat terhormat. Di kampung Acep, nama-nama asli biasanya diambil dari Al-qur’an, nama Asmaul Chusna, nama tokoh dari cerita pewayangan Mahabrata atau Ramayana, atau dari kejadian-kejadian alam.

Jangan salah, pemberian nama resmi itu ribetnya bukan main. Harus diadakan perayaan atau selametan dulu. Harus ada nasi uduk, opor ayam, kue bolu, wajit, dodol ketan merah, dan lain-lain dan lain-lain. Pokonya harus disajikan yang enak-enak lah. Baru kalau semua warga sudah kebagian, nama asli sah disandang sang anak. Biar berkah.

Tapi kalau si anak kemudian sering sakit-sakitan, sering jatuh, atau sering kecelakaan, baru orang tua si anak buat selametan untuk ganti nama resmi anaknya. Kata orang-orang tua di kampung Acep, itu akibat namanya yang terlalu bagus, gak cocok sama orangnya. Misalnya, yang tadi namanya Fery, karena sering sakit-sakitan diganti jadi Ramdan.
Itu juga setelah si orang tua tanya-tanya orang pinter. Di kampung Acep mah gak boleh ganti nama seenaknya meskipun yang mau diganti nama anaknya sendiri. Bisa kualat tahu. Semua harus seizin orang pinter dulu.

Nah kalau selametan udah digelar dengan kelengkapan panganan yang sama saat selametan pertama, yang pangannya gak boleh lebih atau kurang, barulah nama pengganti resmi di sandang sang anak.
Heran? Sama. Acep saja sampai sekarang masih heran kok.

Nah itu beda nama panggilan sama nama resmi. Nama resmi itu mahal. Izinnya ribet. Proseduralnya bertele-tele. Makanya orang-orang di kampung Acep menganggap nama asli itu sesuatu yang berharga. Harus dijaga baik-baik. Gak boleh sembarang disebut kecuali dalam acara-acara resmi. Gak boleh sembarang ditulis kecuali dalam surat-surat resmi. Karena seperti barang antik, nama asli jadi jarang disebut. Jadilah kadang-kadang kebanyakan saudara-saudara jauh lupa nama lengkap saudaranya sendiri.


Beda banget dengan nama panggilan. Meskipun nama panggilan tak pernah dicatatkan di surat-surat, di akta kelahiran, atau di buku rapor, tapi dengan nama panggilanlah orang-orang di kampung Acep disebut oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dengan nama panggilanlah teman-teman saling mengejek, dimarahi, dirindukan dan bahkan disayangi. Begitu juga Acep. Meskipun nama “Acep” tak pernah tertulis dalam ijazah dan surat resmi lainnya, Acep ingin dikenal sebagai Acep oleh orang lain. Bukan Aria Indrayana.

Dan inilah sebagian kisah Acep.

01 February 2010

Orang Itu

Dulu, aku tak pernah mau menceritakannya. Menceritakannya hanya akan menjadikanku seorang yang tampak bodoh. Menjadikanku seorang tokoh dalam kisah yang, meminjam istilah Sendutu Meitulan, disebut Si ‘pecinta yang menyedihkan’ atau ‘mimpi-mimpi si patah hati’. Tapi inilah hidup bukan!?. Bahwa tidak semua yang kau impikan akan terlaksana. Dan jika kau ingin berjalan ringan menyongsong hari esok, kau harus bisa berdamai dengan masa lalu. Ya!! tepatnya aku harus berdamai dengan dunia. Berdamai dengan diriku sendiri.

aaa

Orang Itu. Yang aku sebut dengan ‘orang itu’ tentu saja ia juga seorang manusia biasa. Atau lebih tepatnya seorang perempuan biasa. Ia sama dengan perempuan lainnya: punya nama lengkap, memiliki keluarga yang ia cintai, punya alamat rumah, nomor handphone yang bisa dihubungi (walau aku tak pernah tahu berapa nomornya), dan punya hobi yang jelas. Yang tak biasa adalah senyumnya yang selalu tersimpul di bibirnya. Yang tak biasa adalah semua yang dilakukannya menjadi luar biasa di mataku.

Namanya cukup panjang. Bahkan, aku yakin, jika namanya dituliskan lengkap di kertas-kertas formulir apapun, tak akan cukup. Tapi dulu, aku dan seorang sahabat, selalu mengganti namanya dengan panggilan yang pendek ketika sedang membicarakannya. Hanya satu huruf. Hanya inisial dari nama depan nya sahaja. Tapi bagiku itu lebih dari cukup. Bahkan bagiku seperti nama-nama panggilan yang menjadi tokoh dalam kisah-kisah novel: Ve, Re, Vi, Qi, Phi. Terdengar begitu sederhana, ringkas, singkat, namun menyimpan makna dan berlembar-lembar kisah ketika diucapkan.

Sekarang aku lebih senang dengan memanggilnya dengan ‘orang itu’. Berbahaya menuliskan namanya di sini dengan nama lengkapnya yang panjang itu. Berbahaya karena hanya akan mengganggu privacy nya. Aku menyebutnya dengan ‘orang itu’ untuk mengambil jarak kembali atas apa yang tengah terjadi denganku.

Sebutan ‘Orang Itu’ untuk menempatkannya dalam ruang yang berbeda. Menyebutnya dengan ‘Orang Itu’ membuat suasana berbeda: seperti menempatkannya pada keadaan yang seolah kau sudah mengenalnya padahal belum.. Memanggil dengan ‘Orang itu’ seperti menempatkannya pada jarak yang cukup jauh darimu, tapi masih ada dalam jarak pandangmu. Namun kau cukup leluasa membicarakannya karena ia tak bisa mendengarkan pembicaraanmu.

aaa

Saat aku di bandara, akankah ada seseorang yang menyusulku, seperti Cinta menyusul Rangga. Jikalau ada, kuharap ‘Orang itu’ yang menyusulku.

aaa

Sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya. Bertemu dalam arti sebenarnya. Pernah sekali aku menemukannya di jagad maya. Tentu saja aku senang. Namun kemudian sengsara karena tak bisa bercerita dengannya. Setiap obrolan pasti hanya sebatas basa-basi. Basa-basi yang paling basi. Hanya say hallo, tanya kabar dan setelah itu sudah. Tak ada lagi kata. Tak ada lagi cerita. Dan begitu terus berulang kali setiap kali bertemu denganya di dunia maya. Berulang-ulang. Sampai kemudian aku (mungkin juga orang itu) memilih diam.
Sampai sekarang tak pernah ada kemajuan hubungan dengan ‘orang itu’.
Kau tahu! ternyata bagiku lebih mudah menjelaskan dan menuliskan klasifikasi serangga yang menjadi hama padi atau migrasi belalang dari pada harus menyampaikan ini semua.

Namun mendengar kabar ‘orang itu’ baik-baik saja yang keluar dari mulutnya sendiri, bagiku sudah lebih dari cukup.

Entahlah.

Bersambung..