28 June 2009

Knowing dan The Day The Earth Stood Still : Pergulatan dua entitas.



(sekali sekala ngomongin film ah… mumpung sempat).

Beberapa hari yang lalu saya nonton film baru Knowing yang baru-baru saja diliris (directed : Alex Proyas). Dan hal yang teringat pertama kali oleh saya ketika sedang menonton film tersebut adalah film yang sudah diliris setahun sebelumnya, 2008, The Day the Earth Stood Still (directed : Scott Derrickson).

Kenapa teringat dengan film tersebut?? karena kedua film tersebut kisahnya begitu sangat mirip. baik tema yang diusung maupun tokoh-tokoh yang bermain. Kedua film tersebut bertema antaralain: akhir dunia, alien (dengan kekuatan supranautalnya), ilmu pengetahuan, dan pergulatan antara keduanya. Saya amati, tokoh-tokoh yang bermainpun hampir sama: seorang saintis, singgle parents dengan satu anak. (Duh, kenapa yah..singgle parents dengan film hollywood ini ko terasa begitu akrab??)

***
Yang menarik dari kedua film tersebut adalah bagaimana menghadirkan gambaran dimana nilai-nilai modernitas, ilmu pengetahuan, misalnya, yang terus mendongkel-dongkel dan memojokkan segala yang “nggak ilmiah” dalam kehidupan namun pada akhirnya yang “primitif” tak bisa dihindari juga.

Ilmu pengetahuan bagi kultur Barat (mungkin juga Timur?) seringkali tertampilkan sebagai ancaman atau minimal kontestan akan kemampuan atau bahkan eksistensi Tuhan. Seperti apa yang disampaikan oleh Professor Kostler (Knowing), yang diperankan oleh Nicholas Cage, di awal-awal film, ketika sedang mengisi kuliah dan menjelaskan tentang gerangan penciptaan. Dan simak kata-katanya :
the theory of randomness, which says it's all simply coincidence. The very fact we exist is nothing but the result of a complex yet inevitable string of chemical accidents and biological mutations.. There is no grand meaning. There's no purpose

Bukan, bukan saya bersetuju dengan dengan premis tersebut. Namun 'bukti' material apapun yang mampir di mata dan benak manusia, sangat terbuka untuk dimaknai ganda: bahwa Allah ada dan berkuasa, atau malah sebaliknya: bahwa semesta ini tak lebih dari serangkaian kebetulan tanpa maksud besar, Seperti yang disampaikan oleh prof. Kostler. “There is no grand meaning. There's no purpose”.

Dan di film inilah pergulatan antara dua entitas tersebut dapat terceritakan dengan apik. Pergulatan antara kepercayaan akan adanya yang supranatural (sebutlah ide keberadaan Tuhan) di satu sisi, dengan panji ilmu pengetahuan – yang kadang berbentur, terutama dengan naturalisme, yang menyatakan sesuatu yang terjadi pasti punya penjelasan natural, dan atau materialisme; di mana semua yang immaterial dianggap tak eksis- di sisi lain.

Pergulatan dua entitas tersebut tersebut terwakilkan dalam dua tokoh yang berbeda. Pertama Prof. Koesler dalam Knowing atau DR. Helen Benson di TDTESS. Kedua tokoh tersebut tidak hanya mewakili ia sebagai manusia tapi juga sebagai pengejawantahan dari ilmu pengetahuan, the knowledge. (lihat titel yang ada di depan kedua nama tersebut. Sebagai saintis, wah...bukan!!?). Dan di sisi yang lain ada alien (Whispers Men dan Klatoo), ia adalah wakil dari “yang lebih tinggi” the supranatural. Ia adalah wakil dari nilai-nilai spiritual, tradisional, yang dibackup dengan kekuatan supranatural. Katkanlah Alam (dengan A besar), mungkin Gaia, atau mungkin juga Tuhan.

Yang menarik adalah sikap manusia yang tertampilkan dalam sosok Prof. Koestler (baca : sebagai manusia yang selalu percaya diri dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya), terhantam dengan keadaan yang mampir di depannya namun tak bisa dijelaskan semuanya dengan logika. Ia (manusia) kemudian berubah menjadi peragu, bingung, dan nggak yakin dengan apa yang sedang dilakukannya. Dan segala usaha logika yang dikerahkanpun kemudian tak bisa menjelaskan semua fenomena yang menghantam benaknya.
Dan saat itulah manusia “menjerit”.

Kapan manusia yakin akan keberadaan Yang Maha Lebih?
Ketika ia berteriak menjerti karena tidak memahami dan mampu menjawab dari apa yang ada dihadapannya, lantas menerima jawab dari jeritannya itu ternyata datang dari luar materi. Datang dari yang tak masuk logika. Namun untunglah manusia tak sepenuhnya makhluk logis, ia juga makhluk emosi, makhluk spiritual. Dan dari moda logika bersama moda emosi dan spiritual itulah manusia mampu menala dan mendeteksi sesuatu yang di luar logika. Logika semata saya kira tak cukup untuk meyakinkan diri bahwa balas yang ‚terdengar’ dari teriakkannya adalah jawab dari sebuah subyek independen atau sekedar gema suara sendiri ...

Nah, dalam konteks (yang jelas dibuat-buat) inilah film knowing dan TDTESS adalah pergulatan manusia dihadapan dua entitas: antara ambisi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai konvensional, atau agama, yang masih sering melahirkan friksi, namun pada akhirnya manusia tidak bisa menolak.

Dan bagi saya yang cuman masih bisa menikmati dari jauh, film ini mencoba mengingatkan dunia akan dualitas moda kehidupan (bagi kultur manusia, gak Cuma barat saya kira) : pertimbangan murni logika nggak cukup tanpa pertimbangan nurani.

Di akhir cerita saya cukup gembira bahwa manusia yang “berkeyakinan” akan selalu menemukan kedamaian. Saat prof. Koesler sebagai seorang saintis tidak lagi mempertanyakan keanehan yang dihadapinya. Ia berubah menjadi semi dogmatis memang. Namun di saat itulah kedamaian dalam dirinya datang.

Nah..itu. yang terbaca oleh saya dari kedua film tersebut. Mengada-ngada dan sok tau..jelas!! lha wong ini, sekali lagi, cuma ngelantur bertutur ko!!.
Mungkin saya salah dan terlalu sempit pandang. Jika itu kasusnya ya..mohon koreksinya.

gaza

Matahari telah mati
di atas kota Gaza
tapi tak seorangpun yang berkabung

maut yang suram menyelimuti hari
merebak di mana-mana.
menggedor tiap pintu, mengapung di udara
tanpa ada satu saudara yang bisa menghalangi.

maut yang dingin menyelimuti hati
menyelinap lewat lubang kunci, merayap di kisi-kisi.
Menanti di jalan-jalan sampai pagi.
tanpa ada satu dunia yang berani mengusir.

Maut yang gelap hadir di tiap kepala
pucuk senjata menodong tiap jiwa.
tiap mereka yang bernafas
tiap mereka yang berdarah.

O, matahari telah mati
di atas kota gaza
tapi tak seorangpun yang berkabung!


~~
2008-2009

21 June 2009

kalau All Star gak ngatasi, Terancam FC siap beraksi. itupun kalau Manchester United nya berani


Ini berita basi. Tapi lo akan tambah basi jika ga baca ini. :)

Malang, 20 Juni 2009
Adanya rencana klub raksasa sepakbola Inggris, Manchester United, mengadakan tur ke Asia yang salah satunya mengunjungi Indonesia telah membuat publik pecinta sepak bola di Indonesia bersukacita. Karena bukan saja akan berkunjung, tapi juara Liga Champion 2008 ini, di jadwalkan akan melakukan pertandingan persahabatan dengan tim All Star Indonesia.

Beberapa minggu sebelum berlangsungnya pertandingan akbar (ini akbar bagi Indonesia saja tentunya, kalau bagi MU mah, yaaaahh... paling sama kayak latihan lah, cuma kalo latihan yang ini bedanya di lakuinnya di Jakarta,. Itu thok!!) yang rencananya akan dilaksanakan di Stadion gelora Bung Karno, Jakarta, suporter kedua kesebelasan sudah ramai mengantri tiket yang susah di akses. Susahnya untuk mendapatkan tiket antara MU dan all star Indonesia, menurut TS, salah satu skuad terancam FC, karena penjualan telah dimonopoli oleh konco-konco PSSI.

Prediksi siapa yang akan menang dan teaser antara kedua kesebelasan sudah berkeliaran di dunia maya. Selain itu juga perdebatan siapa penyerang yang akan masuk skuad tim merah putih, antara Bambang Pamungkas dan Bambang Trismawan semakin sengit. hehehheee....Wah...bakal jadi pertandingan yang panas!!!

“ini sejarah dalam jagat sepak bola Indonesia, jarang-jarang kita disuguhkan sebuah pertandingan antara tim Indonesia dengan klub besar daratan Eropa” begitu kata pengamat sepakbola bung Karuniawan Dwi Wibawa, pengamat sepakbola, setelah dikonfirmasi di kos-kosan sebelah. :)

Tapi pertanyaannya, mampukah tim all star Indonesia menghadapi salah satu klub raksasa di dunia itu?? Di atas kertas all star Indonesia memang jauh di bawah MU. Baik secara skill individu, stamina, tekhnik permainan, maupun secara kesolidan sebuah tim, all star Indonesia jauh tertinggal di bawah. Tingginya intensitas jadwal pertandingan dan ketatnya kompetisi antar klub di daratan Eropa menjadikan klub-klub di Eropa susah ditaklukan jika bertading dengan kesebelasan dari kawasan Asia. Apalagi jika melihat apa yang terjadi di Indonesia, carut marutnya kompetisi dan amburadulnya pembinaan yang dilakukan PSSI, serta dijadikannya kepengurusan PSSi sebagai ajang koncoisme, tampaknya harapan menang akan semakin tipis saja.

saya pribadi gak akan muluk-muluk membuat prediksi siapa yang akan menang pada pertandingan nanti. Tak perlulah baca prediksi tentang formasi, statistik pertandingan dari komentar para ahli, apalagi harus tanya ke mama Laurent atau ki Gendeng Pamungkas (kalau Bambang Pamungkas bolehlah :)). Cukup pakai “feel” saja. Hehehe... 5-1 untuk Manchester United. Egois dan sok tau emang. Tapi kalo selera gimana donk..??


Tapi bagi pendukung timnas jangan pesimis, kita lihat saja nanti.. masih ada harapan karena masih ada terancam FC. Kalau ternyata all star gak ngatasi, Terancam FC mau tanding sama MU. Di mana saja. Di Jakarta ok... di ajak ke Old Trafford tambah seneng malah. =))
“Terancam FC siap kembali merumput jika tim yang dilawannya adalah MU.
Itupun kalau MU nya berani.” Begitu kata salah satu penyerang andalan Terancam yang tidak lain adalah penulis sendiri.
hahahahah.....
ok...Bravo Indonesia!!


Bambang Trismawan
Penyerang Terancam FC
(yang bermimpi suatu saat timnas bisa bicara banyak di pentas dunia. Bermimpi timnas bisa bertanding di final piala dunia melawan Brazil)

salam hangat buat teman-teman Terancam FC.
sekali-kali kita ngelawan MU yah..?? jgn sama “Sembarang” FC ajah..
hehehehe
kapan yah kita futsalan lagi...

15 June 2009

bersama founding father



Menengok-nengok berita televisi dan membaca koran tentang persaingan para capres kita yang terus muncul di depan publik membuat benak saya yang sering tak teratur ini tergelitik. Dan bila diamati, sungguh mengkuatirkan bila melihat hubungan antar calon pemimpin kita saat ini. Bukan saja sikap antar pasangan capres yang berlangsung sengit, tapi juga sikap yang ikut berimbas... pada tim sukses yang ada di bawahnya. Saling sindir, saling serang, saling kritik.

Yang saya amati jelas bukan terhadap iklan-iklan yang telah di make-up setebal aspal sedemikian rupa, tapi pengamatan terhadap ekspresi-ekspresi paling kecil yang ditampilkan oleh para pasangan capres dalam berbagai acara. Ekspresi-ekspresi yang remeh dan biasanya sering lolos dari pengamatan biasa, namun justru (ekspresi tersebutlah yang) menunjukkan perasaan-perasaan yang disembuyikan dan tidak disembunyikan. Pada acara pengundian nomor urut dan pada saat kampanye damai, misalnya. Bagaimana mimik dan sikap personal bawah sadar yang tertampilkan (bagi saya) tidak menunjukkan sikap kepemimpinan seorang negarawan. Padahal dalam berbagai momen para capres kita sering ingin tertampilkan dan tercitrakan sebagai penerus founding father kita.

Di titik inilah saya tergelitik, bagaimana mengenal founding father kita dan membandingkannya dengan para capres kita saat ini. Dan sungguh disayangkan, bila yang digembor-gemborkan oleh para capres kita, hanya sebatas romantisasi,patron, keturunan, gaya pakaian, alih-alih ideologi dan ajaran perjuangan, atau sikap kenegarawanan.

Dalam buku Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sedjarah’ dan ‘Peladjaran dari Sedjarah’ terceritakan tentang kehidupan keseharian para pemimpin Republik di pembuangan nun di Pulau Bangka semasa agresi militer Belanda ke II. Konon, para pemimpin Republik yang ditangkap di Yogya dan dibuang ke Bangka (Mr. Roem sendiri ada di antaranya. Bersama Bung Hatta, Bung Karno, dan Haji Agus Salim) itu seringkali memakai waktu mereka untuk berdiskusi tentang keadaan mutakhir.

Namun tak sering juga pembicaraan mereka menyentuh “berbagai perkara kehidupan lain, termasuk soal wanita dan sex. Soekarno kelihatan jadi lebih bersemangat kalau pembicaraan berkisar soal yang dua ini. Sebaliknya, Hatta jadi kelihatan agak dingin, sementara Haji Agus Salim menunjukkan kepakarannya di semua pokok pembicaraan.” Demikian tulis Mr. Roem ...

Ketika pertama kali membaca komentar tadi, saya terbahak. terbayanglkan kalau Soekarno jadi tertarik dan lebih bersemangat (mungkin dengan mencondongkan lebih dalam tubuhnya), dan Hatta justru mendingin di hadapan tema eros, tapi Agus Salim .. anda tebak sendiri.

Di buku lain, setelah revolusi tak ada lagi, karangan Goenawan Mohamad, tertulis juga cerita kecil para founding father kita ketika di pembuangan. Syahdan, di pagi buta di tahun 1942, untuk menghindari dampak serangan tentara Jepang yang menyerang Ambon, Hatta, dan Sjahrir di jemput oleh pesawat dari pembuangannya dengan pesawat Catalina di Pulau Banda Neira. Hatta lalu bergegas dan tergopoh mempersiapkan buku-bukunya dalam enam peti . sedangkan Sjahrir sudah mengajak 3 orang anak, temannya bermain yang ia ajari selama di pembuangan.

Saat akan berangkat masalah muncul karena pesawat yang menjemput tidak cukup besar untuk memuat semuanya. Harus ada yang ditinggalkan. Anak-anak yang ikut dengan Sjahrir. Atau enam-peti buku yang dicintai Hatta. Akhir cerita, (mungkin setelah perdebatan) Hatta merelakan bukunya ditinggal dengan kepastian tak akan terambil kembali kelak (mungkin juga ia menyesal).

Membaca cerita-cerita kecil tadi, buat saya sungguh membesarkan hati. Jadi sadar bahwa para founding father kita juga punya sisi preverse-nya. Tapi lihat sisi lainnya! Mereka terasa lebih human. Terasa ke-mausia-biasa-annya. Dan lebih dari itu, betapa antar mereka sangat begitu akrab! (pembicaraan wanita dan seks tentu saja hanya terobrolkan kepada orang terdekat saja, bukan?). Di samping itu bagaimana mereka bisa mengorbankan kepentingan pribadinya. (saya bisa membayangkan bagaimana kecintaan Hatta terhadap buku-bukunya).

Cerita bahwa para founding father kita sering terlibat diskusi (bahkan perdebatan) sengit tentang ideologi dan dan masalah bangsa di meja diskusi namun kembali akrab saat di meja makan ternyata bukan isapan jempol belaka. Dan dari cerita-cerita seperti inilah kembali tertemukan alasan untuk menjadi bangga menyebut diri seorang Indonesia; dan darinya tertemu alasan akan harapan adanya kepemimpinan yang lebih baik. Seorang negarawan!

***
Seseorang pernah bilang, bahwa kepemimpinan adalah produk dari masyarakatnya. Sebagai individu, kita punya kewajiban untuk memastikan suara kita mengangkat pemimpin yang bener dan menjatuhkan pemimpin yang tak layak. Dan juga memulai (lagi) pekerjaan untuk membesarkan kepemimpinan yang ada disekitar kita. Orang-orang yang rame ing gawe sepi ing pamrih. Orang yang berbuat banyak tanpa banyak bicara. Yang tetap semangat dan punya aksi nyata dalam keterbatasan. Yang lebih peduli hasil ketimbang pencitraan. Dan kepada merekalah seharusnya kepemimpinan kita amanahkan.

13 June 2009

Apakah rindu?

adalah senandung lagu
dari seorang yang tak ingin sendiri
menanti, karena ingin bertemu

adalah lantai kuil berbatu, bersama debu,
yang hilang sebelum tersapu.
ciptakan harapan yang pilu

adalah tegak tugu di batas hutan,
bersama rerumput, angin dan dingin,
ciptakan sepi yang sedih

apakah rindu?
adalah ratap lirih
dari seorang yang tak ingin sendiri.
fana tapi sendu.

Sukabumi, juni 2009