19 December 2008

hujan bulan Desember

Ia duduk di kursi kecil sambil memandangi hujan bulan Desember. Di selasar kamar itu udara dingin meresap di kulitnya. Pori-pori kulitnya bergetar. Sore itu ia sendirian. Tapi kertak hujan yang menimpa atap terdengar bergantian. Tak banyak yang bisa ia lihat dari sudut tempatnya duduk saat itu. Hanya genting-genting rumah yang dimakan usia, dinding rumah bagian belakang yang dibiarkan tak terplester, berlatar sepotong gunung yang bertudung awan gelap.

Ia pandangi kembali air hujan yang jatuh. Dengarkan kembali ricik hujan. Tiba-tiba ia tersadar. Seolah ia baru mengalami saat seperti ini. Butir air yang seperti mutiara itu, irama hujan yang menyegarkan itu. Derau hujan yang sengau itu. Getar itu. Hal-hal yang sederhana namun selalu tersisih. Hal-hal yang tak selalu mendapat tempat dalam kehidupan...

Ia tersadar : Ia tak punya waktu untuk hal yang remeh temeh lagi.
Sudah tak ingat kapan ia terakhir kali menyengaja memandang hujan seperti ini. Sejak ia selalu tergesa. Sejak ia sibuk dengan hal-hal besar namun mematikan hal-hal kecil yang sederhana dalam dirinya...

Ingin ia berdiri lalu pergi ke luar memesan secangkir kopi panas di warung ujung jalan, tapi tampaknya hujan akan turun sampai ujung malam nanti.

03 December 2008

Jumpha Lahiri

Di tengah himpitan segala kewajiban menyelesaikan skripsi : ngitung tren produksi ikan tuna; buat grafik-grafik, buat peta fishing ground kapal longline, menekuni laporan-laporan dan artikel-artikel, bolak-balik ke kampus, maka baca baca buku ringan macam cerita pendek sungguh dapat menjadi pelipur frustasi.

Buku kumpulan cerita pendek yang selama dua minggu ini tak jauh dari jangkauan saya adalah bukunya Jumpha Lahiri yang berjudul Penafsir Kepedihan.

Sang penulis, Jumpha Lahiri, lahir dari orang tua keturunan Bengali, India, namun ia lahir di London dan besar di Amerika sekaligus kemudian menjadi warga negara Amerika. Koleksi cerita pendeknya, Interpreter of Maladies (Penafsir kepedihan), memenangi Pulitzer kategori fiksi pada tahun 2000, setelah sebelumnya meraih penghargaan The Hemingway dan Newyorker untuk kategori buku pertama terbaik.

Seingat saya, dulu, pertama kali saya mengenal nama Jumpha Lahiri bukanlah lewat karya tulisnya. Saya mengenalnya lewat sebuah film yang berjudul The Nameshake. Sebuah film yang diangkat dari novel pertama Jumpha Lahiri dengan judul yang sama.

Film the Nameshake sendiri berkisah tentang proses integralisasi satu keluarga kecil India ke kehidupan sesehari Amerika. Sebuah masalah yang mungkin akrab dengan hidup keseharian Lahiri waktu kecil. Gegar budaya orang tua. Krisis identitas para anak dihadapan eksotika akar keluarga. Pencarian dan penemuan jati diri menjadi warna keseluruhan film ini. Film yang bagus.



Seperti dalam film The Nameshake, dalam kumpulan cerpennya pun Jumpha Lahiri masih bertutur tentang masalah kehidupan etnis India yang tumbuh kembang di Amerika: Keterombang-ambingan, keterasingan, kerinduan, juga frustasi dengan hubungan tempat asal keluarganya menjadi perhatian penuh dalam tiap ceritanya. Konflik sesama migran, baur budaya, serta usaha mereka dalam menyelesaikan masalah mewarnai cerita-cerita pendeknya.

Kesederhanaannya bercerita, penuh perhatian pada detil dan hal kecil dalam kehidupan, sosok karakter yang ditampilkan... semuanya sungguh memikat. Belum lagi tabur deskripsi aksesoris dan furnitur yang tersebar di seluruh cerita. Sungguh menyenangkan untuk dibaca.


Akhirnya, saya merasa beruntung masih dapat baca buku tersebut di tengah tumpukan kesibukkan (lebih tepatnya tekanan). Bisa melihat dengan lebih dekat kehidupan para etnis India di tanah Amerika.

Buku, memang seperti kata Jumpha Lahiri yang tertutur lewat karakter kakek Gogol Gangguli, sang protagonis, dalam The Nameshake,
"That is what books are for. To travel the world without moving an inch."

Semangat untuk terus membaca buku di sepanjang akhir tahun ini.

gambar buku untuk interpreter of maladies saya cari di google tapi gak ketemu-ketemu yak?