26 July 2008

Bukuku suka-suka-- mimpi yang minta mewujud

Sampai sekarang saya ini sering iri, yah...iri yang ikhlas, (apa juga ini, iri yang ikhlas??) jika ada seorang teman yang bekerja di bidang per-bukuan atau jurnalistik. Baik ia sekedar tukang desain gambar sampul buku, tukang alih bahasa, tukang cetak, editor, lebih-lebih kalo memang menjadi seorang penulis. (Ketika saya nyatakan perasaan iri itu lha...dikira teman saya itu saya becanda kali ya?. Dia bilang masa iya sih..? Padahal saya serius lho..) Hadirnya perasaan iri tak lebih dari inginnya diri ini ikut berkontribusi (yang walaupun kecil) di bidang per-bukuan, namun tak pernah kesampaian... seperti kata pepatah, iri kan berarti pertanda tak mampu.

Makanya, adanya keinginan kuat untuk ikut berkontribusi di bidang per-bukuan itu, berbulan-bulan yang lalu, saya dan beberapa teman pegiat buku, berkesempatan untuk bereksperimen dengan buku. Kurang lebihnya (akan) ikut menambah referensi buku dengan menerbitkan buku, sumbangsih kecil-kecilan lah ceritanya. Maka terumuskanlah beberapa judul untuk menerbitkan dan mencetak beberapa buku indie... lahirlah proyek dengan tema besar “bukuku suka-suka”. Lha kenapa buku Indie?? Waktu itu (bahkan sampai sekarang) Kita-kita sadar ko, kepala kita ini belum cukup kuat untuk menjebol tebalnya tembok penerbit. Kalo di paksa juga... di khawatirkan bukan temboknya yang retak tapi kepala ini yang ancur...

Bulan-bulan pertama berjalan menyenangkan. Impian-impian besar mulai bermunculan dalam beberapa diskusi kami. Satu dua teman dikontak malah beberapa pengurus KAMMI Malang mau ikut bergabung atau setidaknya memberi janji ikut menulis satu dua artikel dan akan ikut membantu mengadministrasi juga (maklum saja, proyek ini saya masukkan juga ke program kerja di KAMDA..hehe).

Untuk memudahkan dalam pengerjaan, konsep dalam pembuatan buku (sebenarnya) dibuat sederhana. Kami hanya menulis satu-dua artikel dalam satu tema kecil yang sama yang nantinya akan dikumpulkan dan dijadikan satu buku. Jadi bukan karya besar satu orang, tapi berupa kumpulan beberapa tulisan dari beberapa penulis. Bentuk tulisannya pun sengaja dibuat artikel bebas atau esai yang gak seketat karya tulis ilmiah...dan pengerjaan satu temapun dibuat estafet. Jadi kesuksesan sudah membayang dari awal-awal pengerjaan tak terbayang aral rintang yang menghadang.

Namun sayang seribu sayang. (sampai saat ini) Setting waktu (juga tempat?) ternyata belum mengizinkan bagi kami, para (sebagian) mahasiswa pegiat buku, untuk bisa menerbitkan buku tersebut. Yang saya tahu, sayalah yang masih gelagapan menyesuaikan waktu dalam mengerjakan skripsi karena objek penelitiannya di laut sana (di Sukabumi pula). Sempitnya waktulah yang pada akhirnya buku tersebut belum jadi terbit. Alasan klasik, Mungkin.

Sekarang, dihari-hari setelah kembali ke daratan, kerinduan untuk belajar mendefinisikan diri sendiri serta mengenal diri sendiri dan mengenal saudara dan teman lewat bacaan dan tulisan kembali menyeruak ke permukaan diri. Malah menjadi sebuah semangat baru. Namun kali ini, setelah pengalaman buku indie beberapa bulan yang lalu, diri ini jadi harus lebih mengerti akan posisi. Tak bijak rasanya memulai sesuatu dengan skala yang muluk-muluk, apalagi menuntut banyak kepada orang lain. Biarlah impian yang besar ini dimulai dari yang kecil terlebih dahulu. Dari yang pribadi. Biarlah diri ini yang menulis satu-dua artikel dulu tiap bulan dan menempelkannya di media weblog ini. Itupun siapa pula yang mau membacanya. Ah, jangan dulu berpikir siapa yang akan membaca. Mungkin kali ini saat yang tepat untuk sekedar belajar menulis. Syukur-syukur bisa berjalan rutin.

Jadilah sengaja bikin label baru di blog sendiri. Label untuk hal buku-bukuan yang ceritanya akan dibukukan nantinya (semoga). Lahirlah label Bukumorfosis.


22 July 2008

Kalau bisa, Bukan titik akhir



Malam itu entah hari apa dan entah hari ke berapa saya berada di kapal. Mungkin hari ke lima, mungkin juga hari ke enam. Ah..entahlah. Sejak hari pertama di kapal, jalannya waktu memang sudah tak terperhatikan lagi. Tidak terperhatikan, bukan tidak diperhatikan. Karena memang saya sudah tak sanggup lagi untuk memperhatikan.

Terombang-ambing di Kapal Motor 99 GT di Samudera Hindia membuat saya seperti terserang penyakit types. Pikiran tak sanggup lagi konsentrasi lebih dari dua menit. Pikiran mudah melayang kemana-mana. Badan cuma bisa berbaring karena lemas. Kepala pusing pening seperti digodam. Perut mual tak bisa makan.

Selama perjalanan sampai saat itu, perut hanya terisi air teh manis. Tidak lebih. Makanan tak sanggup lewat lebih dari lambung. Saya perhatikan, jari-jari tangan dan kaki sudah seperti kerangka.

Beginilah kalau orang gunung tersasar berlayar ke samudera: mabuk laut. Skripsi saya yang membahas pemetaan nelayan longline di Samudera Hindia mengharuskan saya berlayar bersama nelayan longline ke Samudra Hindia selama 15 hari.

Menjelang tengah malam, para ABK mulai berdatangan ke dek, tempat dimana ABK  beristirahat. Tampaknya kerja sudah selesai untuk hari itu. Meski masih pusing, saya paksakan untuk duduk dan ikut dalam percakapan mereka. Percakapan tentang pengalaman menjadi nelayan. Sebagian dari mereka masih sebaya, beberapa ada yang lebih muda dari saya. Total ada 12 ABK. Mereka semua dari Pemalang, kota dekat Cilacap di Jawa Tengah sana.

“Capek, Mas. Kerjanya gak kenal jam. Sehari istirahat paling cuma lima jam, Kadang seharian penuh selesainya pekerjaan. Udah gitu belum tentu dapat ikannya lagi...,” seseorang mengawali pembicaraan.

“Belum kalau ada gelombang besar, Mas,” timpal yang lain.

Seorang teman ABK lain, yang ikut menumpang untuk pulang, ikut bercerita pengalamannya. “Kalau sekarang saya pulang dulu, Mas. Mau ke Bandung. Ada pekerjaan lain. Baru dua bulan setengah saya di laut. Harusnya sih enam bulan,” paparnya, menjelaskan alasan berhenti sementara melaut.

“Lha, terus bayarannya gimana dong?” heran saya.

“Yang penting sudah bisa tutup kasbon, Mas. Delapan ratus ribu sama rokok dua ratus ribu,” ungkapnya.

“Kalo gak melaut kerjanya apa, Mas?” tanyaku.
“Ya...apa saja. Kadang jadi cleaning service di Semarang.”

“Kalo dulu saya ingin melanjutkan sekolah ke SMA, Mas. Tapi orangtua gak punya biaya. Malahan saat pembagian ijazah saya udah melaut.” Seorang lagi anak muda yang dari tadi diam saja, ikut angkat bicara, meski terdengar lebih sebagai gumam ke dirinya sendiri.

“Kalo ada pekerjaan lain, saya mau kerja yang lain, Mas,” ucapnya.


Tak persis demikian memang percakapannya, namun semacam itulah. Dan sayapun jadi sadar tentang apa artinya menjadi nelayan bagi (sebagian) anak nelayan. Nelayan adalah pekerjaan yang liat dan pekat dengan resiko. Menjadi nelayan adalah titik berangkat dari hidup mereka, dan bukan titik selesai. Kalau bisa, bukan titik selesai.

Di mata kuliah Ekonomi Perikanan semester dua dulu, tak pernah terbaca dan terpikir bahwa menangkap ikan (menjadi nelayan)  adalah sebagai salah satu upaya ekonomis beresiko tinggi. (aduh...maaf..maafff, ini mungkin lebih karena sayanya saja yang  jarang baca teks wajib kuliah atau jarang masuk kuliah..). Ternyata saya salah.

Dari awal saat kapal berangkat, perkara BBM (mahal dan langka), cuaca, hujan, gelombang, arus, angin, umpan, air yang kurang, makanan yang menipis, dan sebagainya dan sebagainya sudah menghembalang. Ketika ikan di tanganpun masalah tak terhenti, hanya berganti nama menjadi pembusukkan, panjangnya rantai distribusi, penyimpanan, harga rendah, dan lainsebagainya-dan lainsebagainya.

Menjadi nelayan memang bukan tentang melulu menaklukkan lautan tapi lebih menaklukkan diri sendiri. Ia menuntut keberanian, kesabaran, keuletan, dan pada akhirnya kepasrahan. Walaupun banyak yang tak setuju premis tersebut, pada akhirnya kita mesti menerima bahwa seperti itulah kenyataan nelayan kita saat ini.

Di luar, gelombang masih mengguncang lambung kapal. Gelap semakin pekat. Angin kencang dengan aroma garam masih menusuk hidungku. Saya berbaring limbung.

05 July 2008

Perihal buku

 

Banyak karya tulis atau buku yang kontroversi bermunculan di bumi ini. Dari dulu sampai sekarang (dan sepertinya terus pada yang akan datang). Mulai dari buku yang isinya hanya kutipan ucapan seseorang. catatan harian yang tanpa maksud diterbitkan. beberapa bait puisi. Cerita atau novel dari yang tipis sampai berjilid-jilid. Buku yang isinya sebuah hasil pemikiran mendalam tentang satu hal, sampai dengan tafsir dari sebuah kitab suci. Semua bisa menjadi obyek kontroversi dan karenanya para penulisnya siap dihujat dan bukunya terancam musnah.

Buku memang salah satu subyek subversi paling tua di dunia manusia modern. Dan karenanya tak akan habis kita contoh dari sebuah karya tulis (teks) yang mampu menjadikan penulisnya dihukum bahkan sampai mati dan kemudian teksnya di haramkan beredar. Banyak contoh betapa teks/buku bisa dirasakan sedemikian mengancam (dan merugikan) keadaan dan keberadaan suatu pihak sehingga pihak yang merasa dirugikan merasa perlu mencitrakan buku tersebut sebagai obyek yang berbaya bagi kepentingan umum dan karena itu melarang keberadaannya.

Dan dari semua itu yang membuat saya benar-benar gak suka (bahkan benci) adalah banyak mereka yang buka mulut tentang obyek teks yang menjadi kontroversi tanpa pernah membaca karya tersebut. Atau lebih jauh lagi, adalah betapa mudahnya manusia membebek, betapa mudahnya manusia menelan habis hasil pencitraan suatu pihak yang merasa dirugikan oleh buku tersebut, dan atau membiarkan prasangka pribadi menjadi sebuah citraan yang riil, tanpa pernah sedikitpun atau keinginan untuk memegang buku yang menjadi kontroversi ditangan sendiri, membacanya dengan mata kepala sendiri, lalu menimbang benar buku tersebut buat diri sendiri. Banyak yang percaya begitu saja bahwa buku itu isinya jelek/berbaya/ hanya semata-mata orang lain bilang itu jelek, berbahaya, atau teori kafir.

Kenapa ini perlu? karena sepanjang perjalanan saya, saya melihat kita cenderung acuh dan menutup mata bahkan jadi anti diskusi tentang objek kontroversi. Dan kebiasaan seperti ini saya pikir berbahaya dan juga bodoh. Berbahaya karena dengan acuh dan menutup mata, kita menjadi tidak berpikir kritis terhadap asumsi agama atau idealisme yang kita percaya. Berbahaya karena tanpa pemikiran kritis atau diskusi terbuka sebenarnya proses pemicikan dan pengkerdilan manusia sedang berlangsung. Jadinya banyak orang yang kemudian hanya melihat satu sisi saja.

***

Saya punya sedikit pengalaman (sedikit ? karena jika dibandingkan dengan jumlah teks kontroversi yang ada bacaan saya belum ada apa-apanya) berkenaan dengan buku-buku yang “pernah” menjadi kontroversi dan sempat dilarang per-edarannya. Bagi saya, adalah studi menarik mengetahui isi kenapa sebuah teks menjadi kontroversi apalagi mengikuti perdebatan pro dan kontra diantara keduanya. Karena saya lebih tertarik di bidang sastra bacaannyapun tak lebih berputar disekitar itu saja. Seperti Pledoi Sastra “Langit Makin Mendung” Kipanjikusmin, Pergolakan pemikiran Isam : Catatan Harian Ahmad Wahib, benar-benar menyenangkan bisa berdialog bersimpang pendapat dengan pikiran seseorang yang berani menantang institusi sekelas agama.

Buku Ahmad Tohari dengan Trilogi Dukuh Paruk toh ternyata sedap untuk dibaca, mengikuti kisah lenggak-lenggok hidup Srintil dalam mencari sejatinya kehidupan. Pram dengan kuartet pulau buru : Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca yang jadi favoritku pernah jg sempat dilarang. Baca buku tersebut saya seperti dimasukkan ketempat dan masa dimana setting cerita berlangsung. Abis baca pun saya jadi bertanya penguasa macam apa yang melarang buku yang mengandung nilai sejarah macam tersebut.
Dekontruksi kebenaran sebenarnya bukan teks asli tapi cukuplah untuk awalan untuk membaca teks-teks kontroversi barat macam marx, freud dan lain-lainya. Max Havelar nya Multatuli saya pikir pada masanya sangat kontroversi sekali dan lebih karena itu, MUltatuli mampu memasukkan (kaidah) puisi-puisi romantik dalam cerita yang dasarnya sebuah gugatan terhadap kerajaan Belanda waktu itu. Dan rasanya gak lengkap jika ga nyertain Petunjuk Jalan-nya Sayyid Qutbh, Ini buku menurutku inspiratif banget, (Walaupun sampai sekarang belum tamat-tamat saya bacanya). Apalagi klo ngelihat akibat yang ditimbulkan dari buku ini. Mulai dari penulisnya sampai yang membacanya..

****
Lha, ko Cuma sedikit?? Mana Marx, Darwin, Mein Kramp (ejaannya bener g y?)... hehehe itu aza dulu ya. Kalo udah baca entar saya komentar...
Kalo Dan Brown sama Jk Rowling mah menurutku biasa-biasa saja. Maksudnya ga harus masukkin daftar buku kontroversi gitu, walaupun sebagian orang tidak bersetuju dengan buku2 tersebut.

::
Kenapa saya ngomongin buku dan bukan karya yang lain :Karena saya (merasa) lebih banyak bersentuhan dengan buku (teks) dibandingkan dengan karya musik, gambar, atau bahkan teater. Dan karna itu saya jadi lebih PeDe aza ketika ngomonginnya. walaupun Pede toh omongannya belum tentu benar. Bener ga sih ??
::

01 July 2008

Kebebasan adalah ilusi, benarkah ??

Begitu kata maul (dan mungkin kata sebagian orang ?).

Tapi benarkah ??
Bahwa kebebasan, keinginan untuk bebas, adalah ilusi,
dan karenanya tidak benar ada kecuali hanya dalam khayal manusia saja. Makanya tak boleh hadir kecuali hanya di rongga kepala manusia.


Tapi benarkah juga ( yang kata sebagian orang juga ??),
dengan bilang bahwa keinginan bebas adalah satu-satunya modal yang berlaku di dunia. Bahwa manusia tanpa keinginan bebas bukanlah manusia ??

Premis pertama di atas jika ditelusuri dengan seksama, akan sampai pada sebuah “kesadaran” bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah tanggung jawab Allah semata, makanya, bahwa Allah dan hanya Allah sajalah yang mesti dipersalahkan dan dibenarkan atas semua pilihan (tentu saja dengan akibat pada pilihan tersebut) semua ciptaanNya.

Sedangkan dari premis kedua mengisyaratkan bahwa Allah hanya menonton saja pentas kehidupan dari ciptaanNya dan berpangku tangan atas semua adegan dan peran kehidupan yang berlangsung di pentas kehidupan tersebut. Allah yang meski kuasa namun tak ingin bercampur tangan.

Masyarakat seperti ini ingin Tuhan. tapi risi dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Melihat ciptaanNya dimana dan kapanpun. Risi dengan Tuhan yang terus mengikutinya. Ia ingin Allah yang voyeuris.
Tuhan yang seperti seorang ayah yang sudah mati. Sosoknya lebih dirindukan dan dihormati (dibanding saat hidup) oleh anaknya, karena sang ayah tidak ikut campur terhadap kehidupan anaknya.

Bukankah pada akhirnya dua-duanya sama tidak bijaksananya ?? Bukankah keduanya tak lebih dari dua kutub ekstrim dari satu magnet ? bukankah keduanya hanya titik puncak sebuah frekuensi? bukankah dua-duanya tak mewakili sejatinya kebenaran ?

Entahlah, kalau menurut sampeyan gimana ?


Paling enak bikin tulisan seperti diatas. Ga tanggung jawab Membiarkannya menggantung.
::Ah..dasar sok tahu dan tidak bertanggung jawab !::


Tak akan lagikah

Tak Akan lagikah??

Sadarku kini tak selalu ada di benakku
Sadarku tentang hadirMU
Sadarku akan MahaMu

Sudah terbaring lama aku berpeluh
Penuh Dosa
Perih penuh luka
Terpanggang laku sendiri

Tak terdengar lagi segala perintahMu
Yang biasa berdesir di semua nadiku
Tak terdengar lagi bisikMU
Yang biasa bergetar di hatiku
Tak kurasa lagi kehadiranMu
Di debar jantungku
Tak akan lagikah??

Tak akan lagikah?
Aku yang memanggilMU?
Atau sebaliknya, Kau yang Menyapaku?

Kucari Kau ditempat biasa kumenemuiMu
Dalam sujudku
Dalam renungku
Dalam diamku
Dalam seluruhku

Tak akan lagikah Kau hadir,
Mampir di lelap tidurku ?
Bercakap dalam senyap diantara lelap?

Ah,
Mungkin kini sudah Tak tahu aku
bagaimana adab bercakap denganMu ?

Sukabumi
Satu Juli 08