24 May 2008

ada reformasi di Indonesia

Ada reformasi di Indonesia. Di bulan Mei 1998 -waktu itu- ada gelombang massa yang mendesak-desak menghancurkan, mencoba mematahkan sebuah kekuasaan yang memaksakan untuk tegak walau sudah renta dan retak. Ada massa yang besar yang menggugat kekuasaan, tapi ini bukan revolusi walaupun -pada akhirnya- ada kekuasaan yang tumbang.

Di bulan Mei, 10 tahun yang lalu, ketika hidup rakyat sudah lama terhimpit-himpit. Saat harga membumbung tinggi, dan perbedaan sudah lama menjadi sebuah kejahatan atas nama kestabilan dan keselarasan. Ketika tanah rakyat dicaplok dan aktifis ditahan atas nama pembangunan. Ribuan orang akhirnya harus turun kejalan, yang tidak hanya di ibu kota Jakarta, mencoba merubah takdir negeri ini : REFORMASI

Reformasi mulai di dengung-dengungkan, diteriakkan, dan akhirnya dikumandangkan dimana-mana. Reformasi berubah seperti menjadi mantra. mantra untuk kehidupan dan keselamatan. Di jalan-jalan oleh mahasiswa dirapalkan, di gedung dewan dibahas dan diusulkan, di istana Negara dititahkan, para pengamat mendiskusikan. Semua mengusung reformasi dan mengaku paling reformis. Seolah jika tidak menggunakan mantra ini, orang akan hilang ditelan zaman tanpa seorangpun akan mengingatnya di masa depan.

Namun pada waktu itu siapa yang paling reformis? Siapa!? Siapa makan siapa!?

Jalan sejarah memang tak selalu datar dan lurus, walau tak selamanya berkelok dan menurun tajam. Ditikungan sejarah itu reformasi muncul dan mulai menemukan salah satu tujuannya. Getarnya dahsyat, namun seperti disetiap perjuangan selalu ada pengorbanan dan selalu ada yang mau berkorban walau banyak yang menjadi korban. Empat mahasiswa harus tertembus peluru dahulu sebelum Soeharto mundur.

Saat itu “reformasi” adalah sebuah cita-cita untuk kehidupan masa depan. Reformasi adalah sebuah perlambang untuk optimisme, janji dan harapan akan masa datang yang lebih baik. Namun ketika janji dan harapan reformasi –sampai sekarang- tidak kunjung mewujud, sekarang “reformasi” seperti hanya menjadi bagian dari sejarah yang terikat dalam ruang masa lalu. Ia tertinggal menunggu lupa dan dibuang, atau ingat dan diperjuangkan kembali.

Reformasi ternyata bukan sebuah lorong lurus yang bisa mengikuti setiap zaman. Banyak bagiannya tak lagi utuh karena tak bisa melewati waktu atau memang sengaja tidak dilewatkan. ia harus diingat, meski ada yang jeri dalam nostalgia. karena kita sadar reformasi bukan mantra yang kesaktiannya melekat pada kata disepanjang abad.

Setelah sepuluh tahun reformasi. Saat sepuluh tahun reformasi mulai diperingati... ketika harapan dan cita-cita untuk mendapatkan keadilan dan mensejahterakan rakyat dari pahlawan reformasi tak kunjung terwujud. Saat cita-cita hanya tingal menjadi cita-cita. Kita dikagetkan oleh kenyataan bahwa kehidupan memang tak kunjung lebih baik dibanding di urus oleh pak Harto sendirian. Kita dihenyakkan oleh keadaan banhwa ternyata banyak kualitas aspek kehidupan tak jua kunjung membaik. Ternyata kita belum benar-benar becus mengurus negara dibanding di bawah titah pak Harto.

seseorang pernah bertanya:

lantas apakah kehidupan menjadi lebih baik setelah negeri ini di tinggalkan oleh Soeharto?
Lalu buat apa reformasi?

Entah...

mungkin Reformasi memang hanya menjadi sebuah lambang optimisme dan harapan yang jawabannya seperti sebuah anekdot nama bulan dimana reformasi ini menemukan puncaknya.

Mei be yes mei be no.

Entahlah..
Tapi yang jelas setelah Soeharto lengser bahwa kini “kita”-lah yang mengurus dan menetukan arah negeri ini dan bukan hanya dari telunjuk seseorang. Bahwa kini kita belajar menerima yang lain yang berbeda dalam ruang demokrasi. Mungkin itulah sebagian makna dari reformasi. Bahwa tak ada yang bisa disalahkan, kecuali “kita” sendiri. Mungkin itulah sebagian hasil dari reformasi dahulu, kita bebas menentukan arah bangsa ini bebas berbeda walau ternyata tak cukup makan dan tak cukup energi.


:: hanya untuk ingat dan mencari akar dengan menengok masa lampau.Karena orientasi melihat masa depan akan kurang lengkap jika orientasi ke masa lampau tidak ada* ::
*dikutip dan dimodifikasi dari tulisannya budi darma yang berjudul menengok masa lampau. Dari buku Kumpulan Cerpen Budi Darma Fofo dan Senggring.