30 March 2008

kokok ayam dan secangkir kopi


Fajar menyemburat memulas langit. Pagi baru tlah datang dimulai jauh dari horizon timur sana. Awal hari datang menyapa. Aktivitas pagi di sini, di rumah, di Sukabumi, benar-benar terasa berbeda dilalui. Di sisni, aktivitas pagi harus dilewati lebih awal, sesaat sebelum matari menampakkan sinarnya. Dan di hari-hari seperti ini, baru tersadar ada hal baru yang teraba saat menjalani ritual pagi di rumah: ada kokok ayam jantan dan ada secangkir kopi panas menemani aktifitas pagi.

Malang sebenarnya ga metropolitan2 banget. Ga kota-kota amat. Tapi hidup di antara himpitan rumah dengan rumah, berjajar dalam sebuah gang sempit, mendengarkan suara kokok ayam jantan penanda pagi atau cicit burung di awal hari menjadi sebuah kesempatan yang langka. Sebenarnya, disamping rumah kontrakan di Malang ada keluarga yang memelihara ayam, Sepasang atau dua pasang ayam, namun entah kenapa, kokok ayam jantannya selalu lolos tak tertangkap oleh telinga di pagi hari. Selepas sholat subuh kokok ayam jantan sering tak terjaring oleh telinga atau mungkin memang tak saya sadari.
Di rumah, sesaat sebelum fajar muncul, kokok ayam jantan terdengar bersahutan berpadu membahana. Dimulai sejak awal kumandang adzan subuh sampai matahari cukup silau jika di pandang.

Dan secangkir kopi....
Emang dulu saya sempat keranjingan (bahkan mungkin ketagihan) menegak minuman berkafein rendah macam kopi neskape. tapi kebiasaan itu berangsur hilang bersamaan dengan mulai banyaknya pengetahuan yang terserap tentang bahaya kafein bagi tubuh. Mengkonsumsi kopi di Malang, saya lakukan paling cuma sekedar untuk menemani ketika baca koran hari Minggu, yang tidak bisa saya santap pagi-pagi, yang baru bisa saya dinikmati malamnya di warung “kayungyun”. Atau saat pusing bergulung di kepala, kopi berat menjadi pereda gejala tersebut sebelum beralih keobat-obat warung macam bodrex.

Sedangkan di rumah, kopi tanpa disadari menjadi teman aktvitas hampir disetiap pagi harinya. Uapnya yang mengapung pelan cukup memanaskan pagi yang dingin dan menahan kantuk yang kadang kambuh sehabis subuh. Dan yang pasti minum kopi di rumah tidak perlu mengupas biaya pengeluaran seperti.

Kokok ayam jantan dan secangkir kopi...
Perbedaan-perbedaan kecil macam itu yang mungkin selalu menyenangkan saat dirumah. Hal yang tak mungkin dirasakan di tempat lain. Walaupun ada pasti ada yang berbeda. Hal yang sepele namun biasanya terpatri abadi dan menjadi sesuatu yang dirindukan saat berada jauh.


Sukabumi.

26 March 2008

hujan

Hujan.

Kau selalu tak percaya, Q, memperhatikan hujan turun dari balik jendela kamar atau berjalan ditengah guyuran air hujan adalah sebuah keindahan. Ah, Q sayang, kau tak pernah percaya. Seberapa sering kukatakan sebanyak itu pula kau tak percaya. Dan semakin kau tak percaya, Q, semakin ingin aku bercerita tentang keindahan hujan dan meyakinkanmu tentang keajaibannya.

Tapi untuk kali ini cobalah dengar sekali lagi ceritaku tentang hujan, Q. Kau pasti sudah mendengar cerita ini kan, Q. Namun dengarkanlah sekali lagi, Q, mungkin ini ceritaku yang terakhir kali. Cerita tentang hujan. Hujan kita, Q.

Ditengah guyuran hujan yang deras, jika tak kubawa sesutu yang penting, yang akan rusak jika basah, kadang aku sengaja berjalan, Q. Dan kurasakan tetesan hujan itu, berat dan menghujam di kulitku. Ia turun dengan bebas, tegak menghantam bumi lalu bergabung dengan tetesan lain mengalir entah kemana, Ke sungai mungkin juga sampai ke laut. Air hujan itu turun serempak berderap seperti regu baris berbaris, teratur, namun sekali lagi kukatan, ia bebas, Q.

Aku sering bertanya dalam hati, Q, ada berapa tetesan air yang turun dari atas sana. Jutaan, bukan, dari tak terhitung turun dan menjadi tak terhingga. Q, entah kenapa aku masih ingat tatkala terjebak atau sengaja berjalan diderasnya hujan. Entah kenapa juga aku pasti ingat dimana saja dan kapan aku berada ditengah hujan itu, Q. Kenangan terguyur hujan pasti menempel erat di pikiranku, ia tak mengelupas dimakan waktu.

Pernah suatu kali juga aku terjebak derasnya hujan di atas motor, Q. Air hujan berubah menjadi tajam, ia menyakitkan, Q. Ia seperti mengiris kulitku. Tajam. Berat. Payung? Jas Hujan? Ah, aku sering tak memakainya, Q. Aku lebih senang rambutku basah dan wajahku terkena tetes demi tetes air hujan itu. Menyenangkan. Ia keras ketika menimpa wajahku namun juga seketika menjadi lembut, Mengalir diwajahku. Ia dingin dan membuat segalanya menjadi basah dan hidup. Hidup? Ya Hidup!

Q, Pernah kutengadahkan wajahku ke langit melihat datangnya hujan. Yang kulihat hanya awan, Q. Awan yang kelabu, terkadang hitam menggantung, menggelayut di langit, berat tak tertahankan. Dan aku senang melihatnya, Q. Ingat, suatu saat Kau harus melepaskan bebanmu semuanya, Q, bebas. Seperti awan itu. Ia mengeluarkan semua beban itu sampai ia cukup ringan terbawa angin. Lalu pergi.

Q, masih ingat kau cerita tentang gerimis. Hujan yang rintik itu, Q. Hujan yang turunnya terus menerus namun pelan dan berat. pelan, jarang dan seakan penuh harap. Sering kukatakan gerimis itu hujan yang sedih, Q. Hujan yang menangis. Karena ada harap yang tak terpenuhi. Gerimis adalan hujan antara deras yang kuat dan mendung yang lemah. Ia hujan yang tak sempurna, namun ia indah, Q. Ia adalah sedih yang pasrah. Karena itu ia menjadi indah. Indah dalam pasrahnya untuk menjadi tak sempurna. Sebab itu gerimis selalu merampas hati. Ia datang mendesak kedalam hati ku, Q .

Pernah suatu malam kau bersikeras ingin menggandengku, bersama berjalan dalam lindungan payung mu Q, Namun aku menolak. Ah, kau mungkin sudah lupa, Q. Waktu itu Kau mencemaskanku yang akan sakit bila terguyur hujan. Nggak, Q. Nggak! Hujan adalah temanku, seperti kau juga temanku, Q. Teman tak mungkin menyakiti sahabatnya sendiri. Iya kan, Q.

Aku merindukanmu Q. Hujan yang akan segera berakhir menjelang kemarau ini membuatku sedih. Aku rindu hujan, hujan kita Q.

Dari teman imajiner.



Sukabumi,
Kala musim hujan
Kan berganti

19 March 2008

Tiba-tiba saja aku teringatmu

Mungkin karena malam sudah malam
lalu mendapatkan diri terbaring
menjalani mimpi sendiri

malam yang malam ini
kenapa juga aku teringat padamu
malah
memimpikanmu
derai
tawa
nada bicara

simpang
jalan-jalan kota
remang malam Malang
gerim
is musim hujan yang lambat berat berderap
gelisah
kita, dan gerak langkah
serba
mengingatkanku padamu
pada hari yang kita lewati bersama


Ah ya,
mungkin karena malam sudah sangat malam
dan lelah diri yang menjalani mimpi sendiri
ataukah...?


Kesalahanku adalah banyak membuang waktu saat masih bersamamu, Sehingga aku tak sempat mengenal lebih sejati siapa kau sebenarnya.


teriring salam untuk semua teman dan sahabat yang tlah diwisuda hari Sabtu kemarin. toto, hilal, olga, andhika, gdam, dan semua yang tak bisa saya sebutkan satu persatu namanya. Semoga kesuksesan kemarin bisa dijadikan milestone untuk meraih kemenangan-kemenangan sekanjutnya.

Lampung : Mungkin Lain Kali

Sudah sejak dari kemarin dulu saya mencium bau sebuah petualangan yang panjang nan mendebarkan. Sebuah aroma kebebasan untuk menjelajahi lagi dunia yang luas. Tuk dapat belajar lagi tentang keindahan alam Indonesia, yang berbeda pemandangannya, adat istiadatnya, sukunya, kepercayaannya, keseniannya dan sebaginya dan sebagainya.

memang sudah waktunya lagi Keluar untuk berpetualang. Hanya tuk sekedar melepas penat, keluar dari semua rutinitas dan uniformitas yang tanpa sadar mencoba mengkondisikan dan memaksakan sebuah hidup yang rutin dan tertata sejak semula.


karena akan menjalani sebuah pengalaman baru, Tak heran mendekati hari H, andrenalin saya semakin terpacu, detak jantung semakin kencang. Sebuah reaksi yang wajar dari tubuh ketika akan menjalani sebuah perjalanan tak terpetakan, menakutkan menegangkan sekaligus menantang.


Lampung. Itulah kota yang membawa sebuah harapan akan petualangan baru. Lampung berarti juga sebuah kesempatan untuk beranjak keluar dari tempat tinggal, tempat dimana hampir setiap hari melihat alam sekeliling yang tak jauh berbeda. lampung berarti juga kesempatan datang ketempat dimana saya bisa mengukur suatu pemandangan tidak hanya dari tempat saya tinggal saja.

karena tak ingin selama hidup saya, saya hanya dapat mengukur sesuatu pemandangan dari sekitar tempat saya saja. Tak hendak saya mengukur dunia yang luas dari hanya tempat saya sering beraktifitas yang sempit. Makanya, ketika ada kesempatan dan peluang untuk meninggalkan pulau Jawa yang katanya sudah padat dan sesak, menuju pulau Sumatera, saya seperti anak kecil mendapatkan mainan baru: senang dan takkan mau dilepas.


Perlengkapan sudah semua dilengkapi, persyaratan hampir semuanya dipenuhi. perbekalan sudah diusahakan. rencana tlah disusun serapi-rapinya.
Namun
nyatanya harapan menjelajah pulau Sumatera, Pulau yang besarnya tigakali pulau jawa itu, tidak kesampaian. tidak terlaksana. alasanya teman saya tidak bisa ikut karena ada acara mendadak yang harus diikuti. sedangkan saya harus pulang ke rumah untuk menghadap umi yang telah tiada. seseorang yang pernah turut membesarkan saya dengan kasih sayangnya.

setelah pengalaman ini, diri ini menjadi lebih mengerti tentang posisi. tentang betapa lemahnya manusia. dan tentang masadepan, bahwa sematang apapun rencana. serinci apapun daftar perbekalan bahwa bila rencana yang kita ciptakan tidak bertemu dengan rencana Sang Maha Perencana maka masa depan yang kita harapkan tidak akan terwujud.
bahwa ada banyak hal yang tak sepenuhnya dikendalikan oleh manusia yang lemah ini.
dan dari sanalah memang manusia begitu lemah dihadapan Sang Pencipta.

Do’a.
mungkin itu yang saya lupakan.


Lampung.
Mungkin lain kali aku berkunjung.

16 March 2008

obituari 2

Matari redup di senja kala
berpendar garis memerah melemah
menggurat langit berhias awan
meredup setelah lama menyinari bumi
meninggalkan hari yang penuh lelah

Menyisakan titik kelabu di ufuk timur

Dan di hati orang-orang yang mencintai


Pesan itu begitu singkat dari No HP ayah saya.

A bmg umi entin meninggal jam 9 pagi.
22:37 14/3/08


teriring duka.
Innalillahi wa inna Ilahi raji'un.

tempe



Tempe, sebuah panganan yang begitu melekat dengan image sebagai makanan pribumi, ternyata kedelainya, bahan utama pembuat tempe, tidak benar-benar tumbuh di tanah agraria Indonesia. Ternyata hampir 80% kedelai yang dipake tuk buat tempe disuplai oleh Amerika dan Australia. Sebuah ironi.
Bahkan para pengrajin tempe tau jika memakai kedelai Indonesia hasilnya akan jelek.


Bahkan pemegang hak paten untuk tempe adalah negeri seberang.

cat.
gambar diatas saya ikutkan lomba poster dengan beberapa perbaikan,
namun sayang ga menang....